All human actions have one or more of these seven causes: chance, nature, compulsion, habit, reason, passion, and desire.
Aristotle

Wednesday, May 16, 2018

Pengobatan dalam Psikiatri

“Pokoknya saya tidak mau minum obat penenang!!! Saya tidak gila!!!”

“Saya bisa tidur kok dok kalau saya tidak banyak pikiran, cuma memang sih mudah terbangun di malam hari. Saya tidak butuh obat tidur.”

“Dok, saya sudah berhenti minum obatnya dokter, takut ketergantungan.”

“Dok!! Saya protes, apotik bilang ini obat orang gila, saya cuma sakit-sakit perut saja kenapa dikasih obat orang gila!!! Dokter salah kasih obat ya???”

Bukannya kalau pergi ke psikiater tuh pastinya pulang-pulang bawa obat segepok atau kapsul-kapsul ga jelas gitu???

Pasien yang akhirnya entah dengan salah satu cara -- dipaksa atau memberanikan diri -- akhirnya berobat juga ke psikiater, akan mengalami kebingungan atau konflik batin terkait dengan terapinya jika pasien tersebut masih memiliki RTA yang cukup baik. Atau kalau tidak, keluarganya yang akan mengalami hal tersebut.
Bingung... Takut... Skeptis... Bahkan hingga resisten atau menolak pengobatan, meskipun sedikit banyak sudah cukup menerima bahwa ada gangguan medis yang dialami oleh "jiwa" kakak, adik, ayah, ibu, anak, kakek, nenek, oom, atau tantenya, atau terlebih pada dirinya sendiri.

FAQ : Obat jiwa itu kan obat penenang ?


Dalam Ilmu Kedokteran Jiwa (Psikiatri) dikenal penggolongan obat secara tradisional yang membagi obat-obatan menjadi 4 kelompok menurut gejala utama yang ditemukan:

  1. Antipsikotik: Berfungsi mengatasi gejala psikosis, berupa waham, halusinasi, kekacauan proses pikir, kegelisahan motorik, dan sebagainya.
  2. Antidepresan: Berfungsi mengatasi gejala depresi, seperti kehilangan minat dan kegembiraan, mudah lelah, sering menangis yang berlebihan, dan sebagainya
  3. Antiansietas: Berfungsi mengatasi gejala cemas, seperti pikiran yang penuh dengan kekuatiran tanpa alasan, ketegangan otot, keringat dingin, jantung berdebar, dan sebagainya.
  4. Mood stabilizer: Berfungsi menstabilkan perubahan suasana perasaan yang tidak wajar, mengatasi emosi yang meluap-luap, dan lain sebagainya.
Meskipun demikian ilmu kedokteran moderen telah mengupayakan berbagai penelitian di bidang neurosains dan menemukan bahwa mekanisme kerja obat-obat yang digunakan dalam Psikiatri terlalu sempit apabila dikelompokkan hanya berdasarkan modalitas utama obat, karena ternyata mekanisme kerja psikofarmaka (obat-obatan yang bekerja pada "jiwa" atau psyche) lebih jauh bekerja di tingkat molekuler. Perkembangan di bidang neuropsychopharmacology memberi argumen terbaru bahwa:

  1. Obat-obatan yang tergolong antipsikotik dapat juga memiliki efek antidepresan dan efek antiansietas, bahkan dapat sebagai mood stabilizer. Beberapa obat memiliki efek yang benar-benar berbeda, hanya dengan perbedaan dosis saja. Contohnya Chlorpromazin yang dengan dosis 25mg berfungsi sebagai antiemetik/anti muntah, dosis 100mg sebagai obat penenang/tidur, dan pada dosis full 300-600mg per hari berfungsi sebagai antipsikotik. 
  2. Antidepresan khususnya golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) ditemukan memiliki efek antiansietas dengan mekanisme kerja yang berbeda dengan antiansietas murni golongan benzodiazepin.
  3. Beberapa obat antiansietas golongan benzodiazepin diketahui memiliki efek mood stabilizer dan dianggap lebih ampuh digunakan pada pasien gangguan bipolar secara periodik ketimbang penggunaan mood stabilizer jangka panjang.
  4. Sebelum beberapa obat digolongkan juga sebagai mood stabilizer, obat-obat tersebut sebenarnya telah lebih dulu dikenal sebagai antiepilepsi/anti kejang. Penelitian kemudian membuktikan bahwa obat-obat yang dulunya dikenal sebagai obat epilepsi ternyata memiliki efek menstabilkan suasana perasaan.

Istilah "Obat Penenang" sangat melekat pada obat-obat psikiatri karena efek terapetik pertama yang dirasakan pada saat pasien mengkonsumsinya adalah menjadi lebih tenang. Pasien psikotik berkurang kegelisahannya, pasien ansietas berkurang kecemasannya, pasien galau bisa lebih ikhlas... hehehe...

Tapi sebenarnya batasan ini terlalu menganggap remeh kerja obat psikofarmaka, bahkan menjadi bumerang ketika pasien menganggap bahwa dirinya tidak butuh ditenangkan, pasien akan menolak pengobatan. Banyak pasien yang secara nirsadar menganggap bahwa apabila mengkonsumsi obat penenang, obat itu akan menguasai dirinya dan "menenangkannya" di luar kendali pasien. Sementara keluarga pasien menganggap jika seseorang telah diberi obat penenang maka keluarganya telah menerima vonis sebagai "orang gila".

Istilah "obat penenang" untuk obat jiwa juga tidak salah. Karena istilah tersebut diterjemahkan dari bahasa inggris "tranquilizer" yang kata dasarnya adalah "tranquil" artinya tenang. Dikenal 2 macam tranquilizer, yaitu "major tranquilizer" yang sejatinya adalah obat-obat antipsikotik, dan "minor tranquilizer" yang adalah golongan obat-obat benzodiazepin. Kedua jenis obat ini memang yang berefek langsung menenangkan kegelisahan dan memiliki efek samping kantuk.

Meluruskan mitos "Obat Penenang" memang tidak mudah, karena memang efek "tenang" akan didapatkan dengan psikofarmaka, namun bukan itu satu-satunya tujuan terapi. Kadang-kadang menenangkan pasien dengan psikofarmaka hanya menjadi salah satu jalan untuk membuat pasien lebih mudah menerima psikoterapi. Intinya tujuan akhir terapi pada psikiatri adalah kualitas hidup yang lebih baik.


FAQ : Boleh kan minum obat dari psikiater saat susah tidur saja, atau saat lagi galau ?

Seiring dengan perkembangan neurosains, Ilmu Kedokteran Jiwa dalam hal Psikiatri Biologi dan Psikofarmaka turut berkembang menguraikan patofisiologi gangguan jiwa dan metode intervensi yang paling tepat. Mengacu pada diagnosis yang telah ditegakkan, maka oleh dokter disusunlah rencana terapi. Terapi dalam Psikiatri mengenal tiga modalitas utama: Psikofarmaka, Psikoterapi, dan Brain Stimulation.
Lhoooo.... apa lagi iniii...???
Tenaaangg... ini penjelasannya...

  1. Psikofarmaka: Diserap dan diturunkan dari bahasa asing, psychopharmacy dari kata psychopharmacology yang pengertiannya jika di-copas dari tante Wiki: (from Greek ψῡχήpsȳkhē, "breath, life, soul"; φάρμακονpharmakon, "drug"; and -λογία-logia) is the scientific study of the effects drugs have on moodsensation, thinking, and behavior. It is distinguished from neuropsychopharmacology, which emphasizes the correlation between drug-induced changes in the functioning of cells in the nervous system and changes in consciousness and behavior.  Jadi.... intinya psikofarmaka adalah obat-obatan yang memiliki efek terhadap suasana perasaan, persepsi inderawi, arus dan isi pikir, serta perilaku.
  2. Psikoterapi: Masih menurut definisi tante Wikipedia, Psychotherapy is the use of psychological methods, particularly when based on regular personal interaction, to help a person change and overcome problems in desired ways. Psychotherapy aims to improve an individual's well-being and mental health, to resolve or mitigate troublesome behaviors, beliefs, compulsions, thoughts, or emotions, and to improve relationships and social skillsYang secara garis besar intinya adalah bahwa psikoterapi adalah metode terapi yang lebih umum, dengan menggunakan metode psikologis melalui interaksi personal antarmanusia. 
  3. Brain stimulation: Metodi terapi psikiatri secara fisis, dengan target memberi stimulasi langsung pada otak tanpa menggunakan obat-obatan. Yang paling lama dikenal adalah Electroconvulsive Therapy (ECT) yang sederhananya adalah suatu metode membuat bangkitan kejang melalui rangsangan listrik ke otak untuk memperbaiki keseimbangan neurotransmitter dan transmisi listrik otak. Metode terbaru adalah Transcranial Magnetic Stimulation (TMS) yang menggunakan medan magnet untuk stimulasi otak.
Pemilihan modalitas terapi dan obat yang akan digunakan serta psikoterapi apa yang akan diterapkan, semuanya membutuhkan ketepatan diagnosis.

Apabila pasien terdiagnosis dengan gangguan jiwa ringan yang tidak membutuhkan terapi rutin seperti reaksi stress akut, gangguan penyesuaian, gangguan insomnia non organik, dan diagnosis lainnya yang bersifat reaktif dan sementara, maka pemberian obat-obatan atau tatalaksana lainnya hanya akan berlangsung  dalam waktu singkat. Apabila pasien hanya mengalami gangguan tidur karena respon stress sementara karena pekerjaan yang menumpuk, atau jet lag, atau faktor-faktor yang mudah terdeteksi lainnya, maka obat dapat diminum dalam periode singkat, sesuai dengan instruksi dokter mengenai cara mengkonsumsinya. Contohnya, gejala sulit tidur yang banyak ditemukan pada berbagai diagnosis gangguan jiwa, jadi obat harus diminum sesuai anjuran dokter karena telah diresepkan sesuai diagnosis dan bukan semata-mata untuk menghilangkan gejala saja.

Hindari kebiasaan menyisakan obat untuk jaga-jaga di kemudian hari apabila selama masa minum obat perasaan sudah lebih tenang dan baik, karena peresepan obat oleh psikiater telah mempertimbangkan berbagai hal termasuk khasiat obat dan target terapi yang ingin dicapai. Menjadi tenang dan merasa baik belum menjadi tolok ukur kesembuhan dalam bidang Ilmu Kedokteran Jiwa. Beberapa terapi perlu dilanjutkan selama 6 bulan, satu tahun, dua tahun, bahkan diminum seumur hidup, untuk mencapai remisi, mencegah kekambuhan, dan mencapai kualitas hidup yang baik. Sekali lagi..... tergantung diagnosisnya.

FAQ : Obat jiwa bahaya kan... bisa bikin ketergantungan ? 


Mekanisme kerja obat psikofarmaka sangat beragam, namun terutama bekerja pada modifikasi kerja neurotransmiter dan reseptor. Obat tertentu, khususnya golongan benzodiazepin dan stimulan memang apabila disalahgunakan dan dikonsumsi tanpa pengawasan dokter/psikiater dapat berpotensi menyebabkan ketergantungan.
Nah kalau bicara tentang ketergantungan, biasanya orang membayangkan para pengguna narkoba yang memakai obat-obatan yang bikin "fly" dan akhirnya menjadi ketergantungan. Kalau begitu pertama-tama kita luruskan dulu beberapa definisi. Narkoba adalah singkatan dari narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif. Penjelasan mbak dokter cantik di website Klik Dokter di-copas ke sini karena penjelasannya sudah sangat baik:
Berdasarkan Undang-Undang No. 35 tahun 2009, narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Narkotika dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, dan menghilangkan rasa nyeri. Bahkan pengguna narkotika tidak dapat merasakan apa-apa karena narkotika memengaruhi susunan saraf.
Narkotika juga dapat menimbulkan ketergantungan. Jenis-jenis narkotika yaitu tanaman papaver, opium, morfin, kokain, ganja.
Lantas bagaimana dengan psikotropika? Menurut Undang-Undang No. 5 tahun 1997, psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat, yang menyebabkan perubahan pada aktivitas mental dan perilaku.
Cara kerja psikotropika yaitu memengaruhi susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan perubahan pada aktivitas mental serta perilaku disertai halunasi, ilusi, dan gangguan cara berpikir.
Jenis-jenis psikotropika yaitu sedatin, rohypnol, valium, amfetamine, metakualon, feobarbital, shabu-shabu, dan ekstasi.
Beberapa jenis obat yang disebutkan di atas memang digunakan dalam ilmu kedokteran, namun harus dalam batas pengawasan dokter dan tidak boleh digunakan secara sembarangan karena dapat membahayakan organ tubuh bahkan kematian.
Jadi sebenarnya lingkup psikofarmaka dapat mencakup narkotika dan psikotropika, dan tujuan utama obat-obatan ini adalah untuk kepentingan terapi. Meskipun begitu, banyak zat adiktif lainnya yang diproduksi bukan untuk tujuan medis dan murni untuk tujuan mencapai efek psikis tertentu. Penggunaan narkotika dan psikotropika yang berbahaya adalah dengan penggunaan yang salah dan bukan untuk kepentingan terapi. Penggunaan psikofarmaka dengan pengawasan dokter/psikiater tidak menyebabkan ketergantungan.

Namunpun demikian, istilah ketergantungan juga memiliki 3 makna yang perlu kita pahami:

  1. Ketergantungan fisik. Ketergantungan ini jelas terkait dengan efek berbahaya obat-obat yang disalahgunakan. Karena obat bekerja pada reseptor dan neurotransmiter, penyalahgunaan obat akan mengganggu kestabilan neurotansmiter dan respon reseptor. Akibatnya ketika sel tubuh terus menerus mendapat asupan obat tertentu secara salah, tubuh akan merespon secara salah juga. Ada kalanya reseptor menjadi kebal dengan dosis kecil dan menuntut peningkatan dosis, dan apabila obat dihentikan, tubuh akan memberi reaksi buruk sebagai tanda bahwa tubuh menganggap obat tersebut harus berada dalam tubuh barulah bisa bekerja dengan normal. Hal seperti ini terutama terjadi akibat penyalahgunaan obat-obat narkotika.
  2. Ketergantungan psikis. Ketergantungan jenis ini terkait dengan rangsang emosi yang ditimbulkan oleh beberapa obat. Beberapa orang yang telah merasa nyaman dengan obat yang dikonsumsinya akan menganggap ia membutuhkan obat tersebut untuk merasa nyaman, padahal sel tubuh dan reseptornya tidak terpengaruh secara fisik/biologis. Efek menyenangkan yang timbul bisa juga dalam taraf eksitasi atau kegembiraan yang berlebihan, seperti yang dialami oleh penyalahguna zat stimulan (amfetamin, metamfetamin). Dalam hal ini, meskipun awalnya berupa ketergantungan psikis, lama kelamaan akan berubah juga menjadi ketergantungan fisik.
  3. Ketergantungan medis. Ketergantungan tipe ini sebenarnya bukan suatu ketergantungan dalam arti sebenarnya. Namun dalam arti bahwa ada penyakit-penyakit tertentu yang memang bersifat kronis sehingga membutuhkan maintenance dengan obat untuk menjaga kualitas hidupnya. Sebagaimana pasien Diabetes Mellitus "tergantung" dengan obat OHO atau insulinnya, dan penderita hipertensi "tergantung" dengan obat-obat antihipertensinya, demikian juga penderita skizofrenia "tergantung" dengan antipsikotiknya. Dalam perjalanan penyakit, kondisi pasien bisa naik turun, maka dibutuhkan rutinitas kontrol untuk penyesuaian dosis obat.

Pengobatan dalam psikiatri membutuhkan ramuan seni dan logika, karena setiap orang diciptakan Tuhan unik adanya. Satu diagnosis yang sama pada dua orang yang berbeda bisa jadi akan diobati dengan terapi yang berbeda, karena diagnosis psikiatri tidak berdiri sendiri, ada latar belakang psikososial yang juga perlu dipertimbangkan.

Jika anda ragu dengan pengobatan psikiatri, jangan mencari sumber informasi yang kurang dapat dipercaya. Silakan berkonsultasi dengan psikiater untuk mendapat penjelasan dan dalam pemahaman anda bisa membantu diri anda sendiri keluar dari kondisi anda.

Salam sehat jiwa.

[Check out previous posts for more about psychiatry]

Wednesday, June 4, 2014

Between Curhat dan Interogasi

“Ihh... Psikiater tuh iseng banget ya? Masa nyusu pake ASI sampe umur berapa aja ditanyain?”

“Katanya periksa, kok ditanyain melulu. Mana alat canggihnya.. manaa??”

“Orang berobat karena keluhan sakit kepala dan susah tidur kok malah diinterogasi bagaimana hubungan dengan suami??!!”

“Pliss dehh... masak curhat aja bayarrr???”

Ilmu kedokteran zaman Hippocrates dan era Watson & Crick sangat jauh berbeda. Setiap detik di seluruh dunia kini menggunakan genetic engineering dalam berbagai ranah kehidupan, termasuk dalam bidang kedokteran. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sangat pesat, sampai-sampai sekarang kita bisa mendeteksi kemungkinan menderita penyakit tertentu bahkan pada janin yang belum dikonsepsi. Pencitraan otak atau brain imaging juga berevolusi dengan cepat. Penelitian-penelitian berskala besar dilakukan untuk memahami misteri otak manusia. Namun.... sayangnya semakin banyak yang kita ketahui, semakin banyak pula yang kita sadari belum dapat kita pahami.

That’s the brain function of human behaviour.

FAQ : Bagaimana sesungguhnya prosedur pemeriksaan gangguan jiwa ?


Untuk menuju kepada terapi, perlu dilalui tahapan-tahapan yang berlaku secara umum dalam ilmu kedokteran. Sangat sering kita datang ke dokter dengan tujuan untuk mendapat pengobatan atau terapi namun tidak ingin direpotkan oleh berbagai tetek bengek prosedural. Hal ini yang membuat booming Google-diagnosis dan self treatment. Didukung oleh kurangnya regulasi dan lemahnya pengawasan obat, maka banyak pasien yang tersesat dalam diagnosis dan salah menggunakan obat.

Seseorang yang datang mencari pertolongan medis akan disebut sebagai pasien. Saat seorang pasien berinteraksi dengan dokter, secara otomatis berlaku prinsip-prinsip etik dokter-pasien yang mengikat kedua belah pihak dalam hubungan transaksional untuk mencapai tujuan bersama. Seorang pasien akan datang mencari bantuan medis dengan membawa keluhan. Ini disebut sebagai keluhan utama. Inilah dasar transaksional dokter-pasien, untuk mencapai tujuan terapeutik yang diharapkan bersama. Tanpa keluhan pasien yang menandai kebutuhannya atas bantuan profesional dokter, seorang dokter tidak boleh melanjutkan ke langkah-langkah pemeriksaan selanjutnya, karena akan melanggar hak azasi seseorang akan perlindungan terhadap privasi. Hal ini berlaku juga pada bidang ilmu kedokteran jiwa, dengan pengecualian khusus yaitu dalam keadaan pasien tidak mampu memberi keputusan logis akan kondisi medisnya, maka keluarga berhak mewakilinya dalam memulai proses transaksional dokter-pasien tersebut.

Dari keluhan utama pasien, dokter akan melakukan wawancara terstruktur yang disebut anamnesis terpimpin yang akan menguraikan sifat dan ciri keluhan utama tersebut. Sebagai contoh, pasien datang dengan keluhan sakit kepala, dokter akan menanyakan bagaimana tepatnya rasa sakit tersebut, apakah seperti ditusuk-tusuk, nyut-nyutan, seperti ditekan, seperti penuh, atau berbaur dengan pusing. Dokter akan menanyakan dimana tepatnya rasa sakit itu dirasakan, bahkan jika bisa menunjuk lokasi nyeri dengan satu jari. Dokter akan menanyakan kemudian gejala yang menyertainya, apakah disertai demam, atau rasa tegang pada leher, atau mual, atau pandangan kabur. Kemudian ditanyakan pula frekuensi dan durasi terjadinya, terus menerus atau periodik, dan jika periodik kapan tepatnya sakit kepala itu muncul dan kapan berhenti atau berkurangnya gejala tersebut, dan lain sebagainya.

Setelah mengupas tuntas keluhan utama, dokter akan menanyakan gejala-gejala penyerta lainnya yang kemungkinan relevan dengan dugaan awal yang telah dimiliki dokter berdasar keterangan mengenai keluhan utama tersebut.

Informasi yang didapatkan melalui anamnesis ini kemudian akan membentuk gambaran beberapa kemungkinan diagnosis yang kemudian akan dipastikan dokter melalui pemeriksaan fisik. Tanda-tanda yang didapatkan melalui pemeriksaan fisik akan menjadi bukti yang mendukung satu diagnosis yang paling mungkin dan beberapa diagnosis banding. Jika bukti-bukti yang mendasari diagnosis sudah cukup kuat, dokter akan memberikan terapi berdasarkan diagnosis. Namun pada beberapa kasus dibutuhkan konfirmasi laboratorik atau radiologis untuk memastikan diagnosis, maka dokter akan menganjurkan untuk melakukan pemeriksaan penunjang baru kemudian memberikan terapi. Langkah-langkah ini harus dilakukan untuk proses penatalaksanaan yang lege artis.

Proses ini dilakukan pula dalam penatalaksanaan gangguan jiwa. Bedanya, dalam ilmu kedokteran jiwa, selain pemeriksaan fisik umum, ujung tombak pemeriksaan berada pada wawancara.


Wawancara atau anamnesis pada pemeriksaan status mental mencakup dua jenis, yaitu alloanamnesis yang berisi keterangan dari keluarga terdekat, bahkan tetangga, teman, dan rekan kerja/sekolah, dan autoanamnesis yang memuat percakapan langsung dengan pasien. Informasi yang didapatkan dari orang lain akan mendukung diagnosis ketika dibandingkan dengan psikopatologi yang didapatkan melalui percakapan dengan pasien.

Pada pasien yang mengalami gangguan jiwa non psikotik seperti episode depresi atau gangguan cemas menyeluruh, informasi dalam pemeriksaan status mental biasanya didapatkan langsung secara sukarela. Jika pasien memilih untuk membatasi informasi, diagnosis kemungkinan akan bias, karena sangat dibutuhkan kerjasama pasien untuk berespon dengan metode wawancara yang dilakukan oleh psikiater. Dan lebih jauh dari itu, jika diagnosis gagal ditegakkan dengan benar, farmakoterapi yang diberikan dapat meleset dan psikoterapi juga tidak akan efektif. Dibutuhkan keterbukaan, kesabaran, dan pemahaman penuh akan hubungan transaksional dokter-pasien yang sedang berlangsung agar tujuan terapetik bisa tercapai.

Sebaliknya informasi yang dibutuhkan untuk penentuan status mental pasien psikotik justru tanpa disadarinya sebagian besar secara sukarela memancar keluar dari setiap pembicaraan, ekspresi emosi, dan perilakunya. Biasanya dokter hanya perlu memberi sedikit rangsangan kepada pasien psikotik untuk menemukan psikopatologi yang ada. Namun hendaya berat pada fungsi mental pasien psikotik membuat peran keluarga sama pentingnya dalam menegakkan diagnosis, informasi melalui alloanamnesis dibutuhkan untuk memastikan onset, perlangsungan gangguan, riwayat pengobatan, dan lain sebagainya yang tidak mampu diberikan pasien sendiri.

Jadi... proses pemeriksaan mental yang dilakukan oleh dokter bukanlah sekedar mendengarkan curhat apalagi interogasi untuk mengorek-ngorek luka atau dosa-dosa di masa lampau. Semua peristiwa yang berlangsung dalam proses transaksional dokter-pasien adalah demi penegakan diagnosis dan penatalaksanaan yang terbaik.

FAQ : Apakah tidak ada pemeriksaan penunjang untuk memastikan gangguan psikiatrik ? 

Beberapa penyakit medis umum dan cidera langsung pada otak dapat menyebabkan gejala-gejala gangguan jiwa. Demam yang sangat tinggi pada infeksi malaria atau tifus misalnya, keracunan otak akibat kegagalan fungsi hati atau zat-zat kimia tertentu, kejang, atau berbagai penyakit lainnya, sering disertai dengan gejala-gejala gangguan jiwa. Gangguan jiwa yang diakibatkan langsung oleh adanya penyakit fisik atau abnormalitas struktur otak yang terbukti melalui pemeriksaan medis dan pemeriksaan penunjang ini disebut sebagai gangguan jiwa organik. Biasanya gangguan jiwa organik akan membaik atau sembuh jika kondisi medis umumnya telah tertangani.

Jauh lebih sering justru seseorang mengeluhkan atau mengalami berbagai penyakit dan gangguan fisik, namun melalui pemeriksaan medis umum maupun penunjang tidak terbukti ada suatu penyakit fisik yang mendasarinya. Ini yang kita sebut sebagai gangguan somatoform ataupun gangguan konversi.

Di lain pihak seseorang dengan tanda-tanda gangguan jiwa berat dan tidak terbukti memiliki potensi organik yang mendasarinya, kita sebut sebagai gangguan jiwa fungsional atau non organik. Kasus-kasus seperti ini yang mayoritas ditangani langsung oleh psikiater, dan membutuhkan selain pengobatan psikofarmaka namun juga sesi psikoterapi. Namun tidak jarang pasien atau keluarganya meminta suatu pemeriksaan definitif pada otak yang akan membuktikan diagnosis gangguan jiwa pada pasien. Hal ini sayangnya... meski dunia kedokteran telah sedemikian maju dan modern, tidak mungkin dilakukan.

Pemeriksaan penunjang pada pasien dengan gangguan psikiatrik hanya akan memastikan atau menyingkirkan diagnosis penyakit medis umum yang memicu atau mendasari atau co-exist dengan gangguan jiwa, namun tidak secara definitif menentukan diagnosis gangguan jiwa. Hal ini antara lain disebabkan oleh proses otak yang secara unik mengatur ekspresi jiwa seseorang belum dapat diuraikan seutuhnya. Artinya, meskipun kita mengetahui bahwa fungsi ekspresi jiwa yang dikoordinasikan otak terjadi melalui gen, neurotransmiter, hormon, dan berbagai unsur kimia dalam tubuh kita, namun mengetahui kadar, jaras, anatomi, dan properti biokimiawinya saja tidak cukup untuk menjelaskan bagaimana dan pada tingkat mana semua komponen ini berinteraksi dan mengespresikan diri. Secara lebih eksplisit, seandainya pun kita bisa mengambil jaringan otak seorang penderita skizofrenia dalam keadaan hidup dan melakukan pemeriksaan laboratorik, kita tidak bisa tahu bagaimana sampel jaringan tersebut berinteraksi dengan bagian lainnya. Atau jika kita melakukan pencitraan radiologis pada penderita episode depresi, kita tidak bisa pada saat yang sama mengetahui tingkat pemancaran neurotransmiter yang terjadi pada jaringan saraf.

Ribet, kan?

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk gangguan jiwa adalah berupa tes-tes diagnostik berbasis statistik dan matriks yang berisi serangkaian tugas maupun pertanyaan, atapun berupa uji kognitif dari berbagai aspek. Pasien diminta untuk menyelesaikan atau berpartisipasi dalam berbagai tugas atau pertanyaan yang akan diinterpretasikan menurut tujuan diagnostik tes tersebut. Meskipun demikian pemeriksaan psikologis ini hanya merupakan alat bantu diagnostik yang tidak digunakan sebagai dasar dalam menentukan diagnosis.

Penelitian selama ratusan tahun hingga kini, tetap membuktikan bahwa meski kita dalam taraf tertentu mulai memahami proses biologis gangguan jiwa, namun alat ukur terbaik pada gangguan jiwa hanyalah analisis oleh jiwa lainnya, yaitu dokter itu sendiri. Melalui genetic engineering manusia kini bisa mereproduksi makhluk hidup lainnya ataupun organ artifisial. Manusia bisa membuat robot dan komputer yang bisa melampaui kemampuan normal manusia itu sendiri. Namun manusia belum bisa mereproduksi jiwa. Jiwa adalah sesuatu yang misterius, namun bukan berarti tak terjamah. Gangguan jiwa memang membuktikan bahwa ada sesuatu yang lebih agung dari kita yang bekerja melalui keberadaan kita. Dan peran dokter (psikiater) bukan untuk playing God dan sok mampu menyembuhkan gangguan jiwa, tapi untuk merefleksikan jiwa pasien, dan membantunya keluar dari labirinnya dengan upayanya sendiri.


Ready for the journey? We’re to enlighten and encourage, but the journey is yours to make.

Thursday, May 15, 2014

Ranah Gangguan Jiwa

Now we know already “What mental disorder really is?”, kita akan membahas cakupan dari psikiatri.
Apa? Lupa? Lihat posting sebelumnya dong.... ckckck.....
Well OK deh, let’s review here :
Psikiatri = Ilmu Kedokteran Jiwa è Mempelajari penanganan gangguan jiwa.
Representasi jiwa tampak dari 3 aspek : Pikiran – Perasaan – Perilaku
Gangguan jiwa didiagnosis berdasarkan :
  • Adanya gejala klinis yang bermakna (tampak pada perubahan 3 aspek jiwa).
  • Gejala klinis tersebut menimbulkan penderitaan (distress).
  • Gejala klinis tersebut menimbulkan hendaya (disability) dalam aktivitas kehidupan sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan kelangsungan hidup.


FAQ : Apakah Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) pasti berkelakuan aneh ?


Secara umum gangguan jiwa dikelompokkan menurut beratnya hendaya yang ditimbulkan menjadi gangguan jiwa psikotik dan non psikotik. ODGJ akan menderita hendaya dalam 3 aspek fungsi kehidupan, yaitu :
  • Fungsi menilai realita (Reality Testing Ability = RTA)
Gangguan pada fungsi ini tampak melalui gangguan kesadaran diri (awareness), daya nilai norma sosial (judgement), dan daya tilikan diri (insight).
  • Fungsi-fungsi mental
Gangguan pada fungsi ini tampak melalui perubahan pada ketiga aspek jiwa.
  • Fungsi kehidupan sehari-hari
Gangguan pada fungsi ini tampak melalui gangguan dalam melakukan pekerjaan, hubungan sosial, menggunakan waktu senggang, dan dalam kemampuan melakukan kegiatan rutin sehari-hari termasuk perawatan diri.

Jika ketiga hendaya ini berat, maka gangguan jiwa yang diderita tergolong dalam kelompok psikotik, dan jika ringan hingga sedang, dikelompokkan ke dalam kondisi non psikotik.

ODGJ yang tampak aneh yang kerap diteriaki anak-anak kampung “Ooyy... orang gila.. hee... orang gilaaa..!!” biasanya berkaitan dengan terjadinya hendaya berat dalam fungsi mental, dan menandakan suatu kondisi gangguan jiwa psikotik. Orang tersebut sering bicaranya tidak nyambung (merupakan gangguan asosiasi pikiran), punya ide-ide pikiran yang tidak wajar (biasanya berupa waham), mendengar, melihat, merasakan sesuatu yang tidak nyata (halusinasi), ketawa saat orang lain sedih atau sebaliknya (gangguan alam perasaan dan ekspresi emosi), serta penampilan dan perilaku yang aneh seperti memakai ember bekas di kepala, berceramah di kuburan, ataupun perilaku yang tidak terkendali lain.

Meskipun demikian, banyak kasus gangguan jiwa psikotik dimana orang tersebut dari penampilan tidak tampak aneh, namun ternyata dalam pemeriksaan ternyata mengalami gangguan isi pikir berupa waham dan gangguan mempersepsikan indera berupa halusinasi.

FAQ : Keluhan sakit kepala dan masalah tidur tentunya bukan gangguan jiwa karena masalahnya di fisik ?


Mayoritas penderita gangguan jiwa berat memerlukan rawat inap di rumahsakit khusus jiwa, tapi banyak penderita gangguan jiwa berat yang dalam keadaan stabil dan terkontrol dengan obat mendapat penanganan rawat jalan. Beratnya hendaya fungsi mental sering membuat ODGJ psikotik dapat didiagnosis bahkan oleh masyarakat awam. Cap “orang gila”, “orang sinting”, “orang sakit jiwa” biasanya terus melekat pada orang-orang ini meskipun mereka telah mencapai keadaan remisi, dan biasanya justru pengucilan sosial ini malah menjadi stresor baru yang dapat memicu episode baru gangguan jiwa pada ODGJ berat yang telah mengalami remisi.

Itulah sebabnya banyak gangguan jiwa non psikotik yang tidak terdeteksi. Masyarakat awam telah memiliki stigma terhadap penderita gangguan kejiwaan, sehingga masalah-masalah kejiwaan yang sebenarnya telah membutuhkan intervensi medis tidak dibawa ke dokter atau psikiater tetapi dibawa ke dukun, pemuka agama saja, atau psikolog saja. Gangguan jiwa yang memiliki kausa biopsikososial semestinya mendapat penanganan yang terintegrasi secara biopsikososial juga. Psikiatri membantu mengintegrasikan ini secara holistik, namun tetap membutuhkan dukungan semua pihak, termasuk sejawat dokter ahli dari bidang lain dan profesi sosial kemasyarakatan lainnya.

Jiwa dan soma sebenarnya merupakan satu kesatuan. Tanpa jiwa (soul/spirit dalam bahasa Inggris, yang selain memiliki makna “roh” atau “nyawa” juga berarti “semangat/kehendak”), soma atau tubuh kita tak akan dapat bergerak atau berfungsi dengan baik. Tanpa tubuh, jiwa kita tak dapat bermanifes. Gangguan pada jiwa akan mempengaruhi tubuh, demikian sebaliknya. Dan lebih jauh lagi, gangguan jiwa itu sendiri merupakan masalah biologis yang memiliki mekanisme saling berkait yang sangat rumit, melibatkan keseimbangan zat-zat kimiawi dalam tubuh yang diantaranya adalah hormon dan neurotransmiter. Jiwa sebagaimana tampak melalui pikiran, perasaan, dan perilaku, secara anatomis dikode oleh otak, melalui zat kimia yang akan memicu respon dari seluruh bagian tubuh melalui zat kimia penangkap yang disebut reseptor. Ini sebabnya gangguan jiwa tidak semata-mata terlokalisir ataupun disebabkan oleh pada salah satu organ atau sistem organ tertentu, namun bermanifestasi dan merupakan respon dari pada seluruh tubuh.

Sebagai contoh paling sederhana, sakit kepala. Dalam ilmu kedokteran, sakit kepala atau cephalgia merupakan gejala yang menyertai banyak sekali diagnosis banding. Sakit kepala dapat disebabkan oleh gangguan pada penglihatan, infeksi pada sinus (rongga pada tulang dahi dan tulang pipi), infeksi pada telinga, infeksi gigi, radang tenggorokan, tekanan darah tinggi, tegang otot, kecapekan, anemia, ulkus/luka pada lambung, gejala stroke ringan, hingga yang berat seperti tumor otak, dan mungkin bermacam-macam gangguan pada otak. Dapatkah sakit kepala menjadi tanda gangguan jiwa ringan/sedang? Ya. Jika semua diagnosis fisik telah disingkirkan melalui pemeriksaan yang teliti dan dibantu oleh tes diagnostik penunjang seperti analisa darah, jaringan, dan radiologis, keluhan tersebut tetap tidak dapat dijelaskan, maka kemungkinan besar sakit kepala tersebut merupakan manifestasi gangguan kejiwaan.

Episode depresi dan bermacam-macam gangguan neurotik lainnya dapat disertai oleh keluhan sakit kepala, sulit tidur, jantung berdebar. Tiga keluhan inilah yang seringkali salah alamat, sehingga penderitanya kerap datang ke psikiater dalam kondisi yang lebih parah akibat shopping doctor.

Whooaa.... Wait a minute! Episode depresi? Gangguan neurotik? Makanan apa lagi itu???

Episode depresi berbeda dengan kondisi depresi yang sering kita gunakan dalam bahasa sehari-hari, terkadang secara bergantian dengan istilah “stress”. Episode depresi merupakan diagnosis klinis dengan syarat gejala dan tanda tertentu yang harus dipenuhi menurut standar International Classification of Diseases, bukan keadaan sedih gara-gara habis diputusin pacar yee.... :p 
Di Amerika Serikat yang menggunakan pengklasifikasian khusus untuk diagnosis gangguan jiwa (psikiater AS yang tergabung dalam American Psychiatry Association, menggunakan juga DSM, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, selain ICD) diagnosis episode depresi dikenal sebagai Major Depressive Disorder.

Gangguan neurotik merupakan sekelompok gangguan yang memberi manifestasi somatik yang lebih menonjol yang sebenarnya merupakan efek dari gangguan psikologisnya. Termasuk dalam kelompok gangguan ini adalah gangguan cemas yang sangat sering tersamar dalam gejala yang mirip penyakit jantung hipertensi atau gangguan lambung.maag.

FAQ : Memangnya anak-anak dan nenek-nenek bisa kena gangguan jiwa?


Masa kanak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan paling pesat. Mayoritas gangguan jiwa ringan dalam masa ini tidak terdeteksi karena orangtua masih menganggap sepele masalah-masalah dengan kelakuan anak atau kurangnya kemampuan anak mengikuti atau melakukan tugas tertentu. Gangguan membaca khas (F81.0), gangguan mengeja khas (F81.1), dan gangguan berhitung khas (F81.2) merupakan beberapa diagnosis ICD-X (disulih dalam versi Indonesia menjadi Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa atau PPDGJ edisi III) yang sangat sedikit terdiagnosis karena kurangnya penderita dan orangtuanya mencari pertolongan medis.

Yang sedang nge-trend bahkan dapat disebut booming dalam tahun-tahun belakangan ini justru jenis gangguan psikiatri yang cukup berat pada anak, namun sayangnya dan herannya, sebagian besar tidak ditangani oleh atau bersama psikiater: autisme dan ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder). Gangguan ini sejatinya sesuai naturnya yang melibatkan hendaya pada RTA, fungsi mental, dan fungsi kehidupan sehari-hari merupakan gangguan jiwa. Namun hampir semua orangtua pasti menolak jika anaknya yang menderita autisme atau ADHD dikatakan mengalami gangguan jiwa. Thanks to the “STIGMA” yang diciptakan oleh masyarakat sendiri terhadap gangguan jiwa dan penderitanya.

Diagnosis gangguan jiwa pada lansia sering dikaburkan atau co-exist dengan diagnosis penyakit fisik. Gangguan jiwa paling sering pada lansia mencakup gejala-gejala gangguan emosi, penurunan daya ingat dan fungsi kognitif lainnya. Cukup banyak lansia yang sebenarnya mengalami demensia namun tidak terdeteksi, sekali lagi karena alasan klasik yang mirip secara umum dengan alasan mengapa ODGJ tidak memeriksakan diri. Takut akan cap “orang gila”.

Kesimpulannya, I guess, kita harus mau memahami bahwa gangguan jiwa “dapat” (bukan “pasti”) terjadi pada semua orang dari segala lapisan dan semua kelompok usia. Manifestasinya juga bukan semata-mata gangguan pikiran, emosi, dan tingkah laku, dia dapat menyamar sebagai keluhan-keluhan fisik.


Adakah masalah Anda yang disadari atau tidak telah menimbulkan tiga hendaya?

Maybe you need help. Do not be afraid.

Wednesday, May 7, 2014

Sehat Jiwa vs Sakit Jiwa ?

“Kamu ngapain ke psikiater? Sakit jiwa ya? Hahaha....”
“Waduh.... Setresss.... Apa saya sudah gila yaa??!!!”
“Idihh.... Masak ditanya lain jawabnya lain... Sarap tuh...”
“Saya cuma fobia kalo naik pesawat, gak perlu ke ahli jiwa.”

Sejak masih SD bahkan TK kita diperkenalkan dengan yang namanya “lawan kata”. Atas lawan katanya bawah, gelap lawan katanya terang, miskin lawan katanya kaya, sehat.... pasti lawan katanya sakit dong.... Nah, seiring dengan pertambahan usia yang menyertai proses tumbuh kembang mental kita, kita menjadi tahu bahwa di dunia ini tidak semuanya dapat dikelompokkan ke dalam positif dan negatif, ya dan tidak, benar dan salah.

FAQ : Apa itu “JIWA” ?


Sebelum kita membahas sehat jiwa vs sakit jiwa, ada baiknya kita punya perspektif yang sama dulu mengenai definisi “jiwa”. Banyak istilah yang secara bergantian digunakan dalam bahasa Indonesia (Sumber: Wikipedia) :
  • Jiwa atau Jiva berasal dari bahasa sanskerta yang artinya benih kehidupan.
  • Dalam berbagai agama dan filsafat, jiwa adalah bagian yang bukan jasmaniah (immaterial) dari seseorang. Biasanya jiwa dipercaya mencakup pikiran dan kepribadian dan sinonim dengan roh, akal, atau awak diri.
  • Di dalam teologi, jiwa dipercaya hidup terus setelah seseorang meninggal, dan sebagian agama mengajarkan bahwa Tuhan adalah pencipta jiwa. Di beberapa budaya, benda-benda mati dikatakan memiliki jiwa, kepercayaan ini disebut animisme.
  • Penggunaan istilah jiwa dan roh seringkali sama, meskipun kata yang pertama lebih sering berhubungan dengan keduniaan dibandingkan kata yang kedua. Jiwa dan psyche bisa juga digunakan secara sinonimous, meskipun psyche lebih berkonotasi fisik, sedangkan jiwa berhubungan dekat dengan metafisik dan agama.

Dalam perspektif psikiatri, jiwa ditelaah dalam perspektif kedokteran atau ilmu kesehatan. Sebagian besar cabang ilmu kedokteran diagnostik-terapetik dibagi menurut organ, sistem organ, atau struktur anatomi tertentu yang dapat diamati atau dilokalisir. Obstetri-ginekologi berfokus pada fungsi reproduksi, oftalmologi berfokus pada mata, internis menangani penyakit dan gangguan pada organ dalam, ahli THT menangani gangguan pada organ telinga, hidung, tenggorok.

Perlu kita ingat, "psikiatri" adalah “ilmu kedokteran jiwa”, maka psikiater bukanlah ahli jiwa, tapi ahli kedokteran jiwa, alias dokter ahli yang menangani seputar gangguan jiwa. Karena ilmu kedokteran merupakan cabang sains yang menggunakan prinsip empiris-logis, maka “jiwa” dalam perspektif kedokteran harus menjadi sesuatu yang terukur dan dapat diamati. Sehingga jiwa yang dibahas dalam psikiatri adalah segala aktivitas seseorang yang dapat diukur dan diamati yang merupakan representasi fungsi kognitif dan emosionalnya. Kedokteran jiwa bukan perdukunan, psikiatri adalah ilmu klinik, bukan klenik.

Nah, kalau begitu dimana letak jiwa?
Di seluruh tubuh tentunya! Dengan apa lagi kita merefleksikan apa yang kita pikirkan dan rasakan? Tentu dengan keseluruhan fungsi tubuh kita.

Representasi jiwa yang dimaksudkan disini agar seragam penggunaan dan pemahamannya di seluruh dunia dituangkan dalam catatan medis kedokteran jiwa yang memuat pada dasarnya 3 aspek utama dari jiwa : pikiran, perasaan, perilaku. Catatan medis psikiatrik yang lengkap akan memuat seluruh aspek kehidupan seseorang baik secara cross-sectional maupun longitudinal. Artinya evaluasi psikiatrik lengkap terhadap seseorang akan berisi riwayat kehidupan seseorang secara menyeluruh sejak lahir hingga saat pemeriksaan, riwayat gangguan medis maupun psikiatrik pada anggota keluarga, hasil observasi dan pemeriksaan fisik lengkap pada saat pemeriksaan, fungsi kognitif dan emosi yang teramati melalui wawancara psikiatrik, riwayat dan rencana pengobatan (farmakologis dan/atau psikologis), follow up, dan kerjasama antar spesialisasi jika dibutuhkan.

FAQ : Apakah jika seseorang tidak sehat jiwa maka dia sakit jiwa?


Definisi sehat dan sakit banyak dikemukakan oleh para ahli. Tapi untuk lebih mudahnya, berdasarkan pengalaman kita sehari-hari, apakah benar jika kita tidak merasa sehat maka kita sedang sakit? Seringkali muncul istilah “kurang sehat”. Hal ini menggambarkan suatu situasi dimana kita merasa tidak dapat berfungsi secara penuh namun tidak pula dalam keadaan mengalami hambatan berarti dalam beraktivitas. Bagaimana dengan kesehatan jiwa?

Kesehatan sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1 ayat 1 Undang Undang No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan adalah merupakan “Keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis”.

Kesehatan jiwa itu sendiri digambarkan sebagai “suatu kondisi mental sejahtera yang memungkinkan hidup harmonis dan produktif sebagai bagian yang utuh dari kualitas hidup seseorang, dengan memperhatikan semua segi kehidupan manusia dengan ciri menyadari sepenuhnya kemampuan dirinya, mampu menghadapi tekanan hidup yang wajar, mampu bekerja produktif dan memenuhi kebutuhan hidupnya, dapat berperan serta dalam lingkungan hidup, menerima dengan baik apa yang ada pada dirinya, merasa nyaman bersama dengan orang lain”. (UU No.36 Tentang Kesehatan 2009)

Berhubung UU tentang Kesehatan Jiwa sudah sangat djadoel, ditetapkan tahun 1966, maka digodoklah draf RUU KESWA tg 15 Oktober 2012/PUU KESRA, dengan rumusan kesehatan jiwa dalam pasal 1 : “Kesehatan Jiwa adalah kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, mental, dan spiritual seseorang secara optimal serta selaras dengan perkembangan orang lain, yang memungkinkan orang tersebut hidup produktif secara sosial dan ekonomis.”

Wow... Rumit ya?? Namun sebenarnya disini dijelaskan bahwa suatu keadaan “sehat jiwa” intinya mencakup hal-hal :

Dimana hal tersebut akan tampak dari ciri-ciri :
  • Menyadari sepenuhnya kemampuan dirinya
  • Mampu menghadapi tekanan hidup yang wajar
  • Mampu bekerja produktif dan memenuhi kebutuhan hidupnya
  • Dapat berperan serta dalam lingkungan hidup
  • Menerima dengan baik apa yang ada pada dirinya
  • Merasa nyaman bersama dengan orang lain

Cukup lengkap bukan? That’s one checklist for you! Apakah semua ciri-ciri sehat jiwa tersebut ada pada Anda?
Jika tidak, maka Anda sakit jiwa dan butuh psikiater!
Haha... just kidding....
Kondisi abu-abu dimana kita dalam suatu waktu merasa kurang optimal secara mental dapat kita gambarkan sebagai masalah kejiwaan. Masalah kejiwaan tidak selamanya butuh bantuan medis psikiater. Masalah kejiwaan sebagian besar dapat diselesaikan sendiri, atau melalui bantuan keluarga, kerabat, sahabat, pemuka adat atau agama yang dipercaya, dan psikolog yang berkompeten.

FAQ : Kapan seseorang butuh bantuan ahli kedokteran jiwa?


Istilah yang kita gunakan di Indonesia bukanlah “penyakit jiwa” (mental disease/mental illness, Ing.), karena istilah penyakit merujuk pada satu organ atau sistem organ tertentu dengan patofisiologi dan etiologi yang cukup jelas. Kita memakai istilah gangguan jiwa atau gangguan mental (mental disorder, Ing.) untuk menggambarkan suatu kondisi penyimpangan dari keadaan sebelumnya atau dari yang diterima secara umum, sebagai output dari proses dan interaksi multifaktor (bio-psiko-sosial)


Butir-butir yang tercakup dalam konsep gangguan jiwa menurut PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa ed. III, yang mengacu pada International Classification of Disease 10 yang digunakan sebagai acuan diagnosis medis di seluruh dunia) adalah harus memenuhi  (Maslim.,R, Diagnosis Gangguan Jiwa):
  1. Adanya gejala klinis yang bermakna.
  2. Gejala klinis tersebut menimbulkan penderitaan (distress).
  3. Gejala klinis tersebut menimbulkan hendaya (disability) dalam aktivitas kehidupan sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan kelangsungan hidup.

Semua orang pasti pernah merasakan cemas. Semua orang pasti pernah sangat sedih, yang kita dengan mudahnya sebut sebagai stres atau depresi. Tapi apakah semua orang sudah mengalami gangguan jiwa?? Nggak lahh.....


Tapi jika cemas Anda sampai membuat Anda sampai pingsan (gejala klinis bermakna), selalu terjadi sehingga Anda merasa ketakutan keluar rumah (distress), sampai-sampai Anda tidak bisa ngantor atau sekolah (disability), jangan malu, ragu, atau takut untuk mencari pertolongan medis. Gangguan jiwa bukan terjadi semata-mata karena Anda lemah atau tidak kuat mental. Peran dokter adalah untuk membantu anda mengintegrasikan masalah kejiwaan Anda secara biopsikososial, dan membantu fungsi mental Anda kembali optimal.

Masih bingung? Silakan tanya... Salam sehat jiwa :)

Friday, April 25, 2014

Psikiatri??? Apaan tuh?!?

"Psikiatri? Psikologi sih ngerti... Psikiatri itu apaan lagi???"  #blenk
"Psikiatri? Oooohhhh.... Itu kan ilmu omong kosongnya Bapak Freud, kan? Yang ngomongnya masalah seks melulu... :D "  #ngeyel
"Psikiatri mah sebenarnya bagian dari ilmu saraf. Kan gangguannya di otak juga... Mending apusin aja itu ilmu, ga penting!!"  #gaklulusukdi
"Aduh... Psikiatri itu ilmu gak jelas. Yang belajar itu sebenarnya kalo bukan bener-bener sinting, ya orang iseng."  #ngerasanormal
"Psikiatri itu ilmu tingkat dewa. Saking tingginya, sampe-sampe gak membumi. Beda-beda tipis sama perdukunan lah gitu... :p "   #calonpsikotik

Demikian komentar kebanyakan orang saat ditanyakan mengenai "Psikiatri". Bikin miris, pingin nangis, sampee pipiss.... Hehehe....
Manusia biasanya memiliki insting "fight or flight" saat menghadapi ancaman. Sesuatu dianggap sebagai "ancaman" atau "threat" jika hal tersebut mengancam integritas diri kita, baik secara fisik/soma maupun jiwa. Saat berhadapan dengan informasi yang belum dikenal atau tidak dipahami, otak kita otomatis akan memproses melalui penalaran untuk menilai apakah hal tersebut merupakan ancaman atau tidak bagi kita. Impuls yang pertama muncul adalah untuk mencari tahu lebih banyak.
Sekarang... sebelum anda memutuskan apakah psikiatri merupakan ancaman bagi anda atau tidak (hehehe...) mari puaskan dulu kehausan kognitif anda...

FAQ: Apa bedanya sih, "Psikiatri" sama "Psikologi"?

Dari etimologi kata saja kita sudah dapat menemukan perbedaan mendasar. Kata "psikologi" berasal dari kata Yunani Kuno psykhē / ψυχή yang berarti "jiwa" dan λογία yang berarti "ilmu", sementara kata "psikiatri" tersusun dari kata psykhē dan iātrikos yang berarti "penanganan medis".

Dalam psikiatri dipelajari ilmu mengenai jiwa namun dengan tujuan demi pengobatan gangguan jiwa. Maka daripada itu aspek medis yang berbasis pada ilmu-ilmu biologi dan ilmu-ilmu sosial dipelajari pula dan diterapkan secara sinergi.
Yang dimaksud dengan ilmu-ilmu biologi tentu saja mencakup ilmu-ilmu yang mempelajari manusia sebagai suatu entitas fisik, mulai dari anatomi, fisiologi, biokimia, hingga ke cabang-cabang dan turunan-turunan spesialisasi ilmunya, serta ilmu terkait lainnya sehubungan dengan hal-hal yang dapat mengintervensi gangguan biologis, termasuk farmakologi dan rehabilitasi medik.

Psikologi menurut Tante Wiki (http://en.wikipedia.org/wiki/Psychology) adalah suatu disiplin akademis dan terapan yang melibatkan studi ilmiah terhadap fungsi dan perilaku mental dengan tujuan untuk memahami individu dan kelompok yang pada akhirnya bertujuan untuk menguntungkan masyarakat. Seorang praktisi profesional psikologi disebut psikolog dan dapat diklasifikasikan sebagai ilmuwan sosial, perilaku, atau kognitif. Psikolog berusaha untuk memahami peran fungsi mental dalam perilaku individu dan sosial, sementara juga menjelajahi proses fisiologis dan biologis yang mendasari fungsi dan perilaku kognitif. Psikolog mengeksplorasi konsep-konsep seperti persepsi, kognisi, perhatian, emosi, fenomenologi, motivasi, fungsi otak, kepribadian, perilaku, dan hubungan interpersonal.

Psikologi sebagaimana juga psikiatri, beririsan dengan ranah sosial, dimana dalam mempelajari hubungan antar manusia, berbagai ilmu sosial juga perlu ditelusuri. Termasuk di dalamnya ekonomi, politik, dan sejarah, antropologi, dan lain sebagainya.

Psikiatri sendiri adalah suatu spesialisasi medis yang dikhususkan untuk mempelajari, membuat diagnosis, melakukan pengobatan dan pencegahan gangguan mental, yang mencakup sindrom klinis dalam hal afektif, perilaku, dan gangguan pikiran (kognitif, persepsi, arus dan isi pikir). Istilah "psikiatri" itu sendiri pertama kali dikemukakan oleh dokter Jerman Johann Christian Reil pada tahun 1808 dan secara harfiah berarti 'perawatan medis jiwa'. Karena psikiatri merupakan sebuah spesialisasi medis, maka praktisi profesional ilmu ini adalah seorang dengan latar belakang pendidikan medis, alias "dokter". Seorang dokter yang mengkhususkan diri dalam bidang psikiatri disebut psikiater.

Masih alergi atau bingung sama psikiatri? Silakan tanya....