“Ihh...
Psikiater tuh iseng banget ya? Masa nyusu pake ASI sampe umur berapa aja
ditanyain?”
“Katanya
periksa, kok ditanyain melulu. Mana alat canggihnya.. manaa??”
“Orang
berobat karena keluhan sakit kepala dan susah tidur kok malah diinterogasi
bagaimana hubungan dengan suami??!!”
“Pliss
dehh... masak curhat aja bayarrr???”
Ilmu
kedokteran zaman Hippocrates dan era Watson & Crick sangat jauh berbeda.
Setiap detik di seluruh dunia kini menggunakan genetic engineering dalam berbagai ranah kehidupan, termasuk dalam
bidang kedokteran. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sangat pesat,
sampai-sampai sekarang kita bisa mendeteksi kemungkinan menderita penyakit
tertentu bahkan pada janin yang belum dikonsepsi. Pencitraan otak atau brain
imaging juga berevolusi dengan cepat. Penelitian-penelitian berskala besar
dilakukan untuk memahami misteri otak manusia. Namun.... sayangnya semakin
banyak yang kita ketahui, semakin banyak pula yang kita sadari belum dapat kita
pahami.
That’s the
brain function of human behaviour.
FAQ : Bagaimana sesungguhnya prosedur pemeriksaan gangguan jiwa ?
Untuk menuju
kepada terapi, perlu dilalui tahapan-tahapan yang berlaku secara umum dalam
ilmu kedokteran. Sangat sering kita datang ke dokter dengan tujuan untuk
mendapat pengobatan atau terapi namun tidak ingin direpotkan oleh berbagai
tetek bengek prosedural. Hal ini yang membuat booming Google-diagnosis dan self
treatment. Didukung oleh kurangnya regulasi dan lemahnya pengawasan obat, maka
banyak pasien yang tersesat dalam diagnosis dan salah menggunakan obat.
Seseorang
yang datang mencari pertolongan medis akan disebut sebagai pasien. Saat seorang
pasien berinteraksi dengan dokter, secara otomatis berlaku prinsip-prinsip etik
dokter-pasien yang mengikat kedua belah pihak dalam hubungan transaksional
untuk mencapai tujuan bersama. Seorang pasien akan datang mencari bantuan medis
dengan membawa keluhan. Ini disebut sebagai keluhan utama. Inilah dasar transaksional dokter-pasien, untuk
mencapai tujuan terapeutik yang diharapkan bersama. Tanpa keluhan pasien yang
menandai kebutuhannya atas bantuan profesional dokter, seorang dokter tidak
boleh melanjutkan ke langkah-langkah pemeriksaan selanjutnya, karena akan melanggar
hak azasi seseorang akan perlindungan terhadap privasi. Hal ini berlaku juga
pada bidang ilmu kedokteran jiwa, dengan pengecualian khusus yaitu dalam
keadaan pasien tidak mampu memberi keputusan logis akan kondisi medisnya, maka
keluarga berhak mewakilinya dalam memulai proses transaksional dokter-pasien
tersebut.
Dari keluhan
utama pasien, dokter akan melakukan wawancara
terstruktur yang disebut anamnesis
terpimpin yang akan menguraikan sifat dan ciri keluhan utama tersebut.
Sebagai contoh, pasien datang dengan keluhan sakit kepala, dokter akan menanyakan
bagaimana tepatnya rasa sakit tersebut, apakah seperti ditusuk-tusuk,
nyut-nyutan, seperti ditekan, seperti penuh, atau berbaur dengan pusing. Dokter
akan menanyakan dimana tepatnya rasa sakit itu dirasakan, bahkan jika bisa
menunjuk lokasi nyeri dengan satu jari. Dokter akan menanyakan kemudian gejala
yang menyertainya, apakah disertai demam, atau rasa tegang pada leher, atau
mual, atau pandangan kabur. Kemudian ditanyakan pula frekuensi dan durasi terjadinya,
terus menerus atau periodik, dan jika periodik kapan tepatnya sakit kepala itu
muncul dan kapan berhenti atau berkurangnya gejala tersebut, dan lain
sebagainya.
Setelah
mengupas tuntas keluhan utama, dokter akan menanyakan gejala-gejala penyerta
lainnya yang kemungkinan relevan dengan dugaan awal yang telah dimiliki dokter
berdasar keterangan mengenai keluhan utama tersebut.
Informasi
yang didapatkan melalui anamnesis ini kemudian akan membentuk gambaran beberapa
kemungkinan diagnosis yang kemudian akan dipastikan dokter melalui pemeriksaan
fisik. Tanda-tanda yang didapatkan melalui pemeriksaan fisik akan menjadi bukti
yang mendukung satu diagnosis yang paling mungkin dan beberapa diagnosis
banding. Jika bukti-bukti yang mendasari diagnosis sudah cukup kuat, dokter
akan memberikan terapi berdasarkan diagnosis. Namun pada beberapa kasus
dibutuhkan konfirmasi laboratorik atau radiologis untuk memastikan diagnosis,
maka dokter akan menganjurkan untuk melakukan pemeriksaan penunjang baru
kemudian memberikan terapi. Langkah-langkah ini harus dilakukan untuk proses
penatalaksanaan yang lege artis.
Proses ini
dilakukan pula dalam penatalaksanaan gangguan jiwa. Bedanya, dalam ilmu
kedokteran jiwa, selain pemeriksaan fisik umum, ujung tombak pemeriksaan berada
pada wawancara.
Wawancara
atau anamnesis pada pemeriksaan status mental mencakup dua jenis, yaitu
alloanamnesis yang berisi keterangan dari keluarga terdekat, bahkan tetangga,
teman, dan rekan kerja/sekolah, dan autoanamnesis yang memuat percakapan
langsung dengan pasien. Informasi yang didapatkan dari orang lain akan
mendukung diagnosis ketika dibandingkan dengan psikopatologi yang didapatkan
melalui percakapan dengan pasien.
Pada pasien
yang mengalami gangguan jiwa non psikotik seperti episode depresi atau gangguan
cemas menyeluruh, informasi dalam pemeriksaan status mental biasanya didapatkan
langsung secara sukarela. Jika pasien memilih untuk membatasi informasi,
diagnosis kemungkinan akan bias, karena sangat dibutuhkan kerjasama pasien untuk
berespon dengan metode wawancara yang dilakukan oleh psikiater. Dan lebih jauh
dari itu, jika diagnosis gagal ditegakkan dengan benar, farmakoterapi yang
diberikan dapat meleset dan psikoterapi juga tidak akan efektif. Dibutuhkan
keterbukaan, kesabaran, dan pemahaman penuh akan hubungan transaksional
dokter-pasien yang sedang berlangsung agar tujuan terapetik bisa tercapai.
Sebaliknya
informasi yang dibutuhkan untuk penentuan status mental pasien psikotik justru
tanpa disadarinya sebagian besar secara sukarela memancar keluar dari setiap
pembicaraan, ekspresi emosi, dan perilakunya. Biasanya dokter hanya perlu
memberi sedikit rangsangan kepada pasien psikotik untuk menemukan psikopatologi
yang ada. Namun hendaya berat pada fungsi mental pasien psikotik membuat peran
keluarga sama pentingnya dalam menegakkan diagnosis, informasi melalui
alloanamnesis dibutuhkan untuk memastikan onset, perlangsungan gangguan,
riwayat pengobatan, dan lain sebagainya yang tidak mampu diberikan pasien
sendiri.
Jadi... proses pemeriksaan mental yang dilakukan oleh dokter bukanlah sekedar mendengarkan curhat apalagi interogasi untuk mengorek-ngorek luka atau dosa-dosa di masa lampau. Semua peristiwa yang berlangsung dalam proses transaksional dokter-pasien adalah demi penegakan diagnosis dan penatalaksanaan yang terbaik.
FAQ : Apakah
tidak ada pemeriksaan penunjang untuk memastikan gangguan psikiatrik ?
Beberapa
penyakit medis umum dan cidera langsung pada otak dapat menyebabkan
gejala-gejala gangguan jiwa. Demam yang sangat tinggi pada infeksi malaria atau
tifus misalnya, keracunan otak akibat kegagalan fungsi hati atau zat-zat kimia
tertentu, kejang, atau berbagai penyakit lainnya, sering disertai dengan
gejala-gejala gangguan jiwa. Gangguan jiwa yang diakibatkan langsung oleh
adanya penyakit fisik atau abnormalitas struktur otak yang terbukti melalui
pemeriksaan medis dan pemeriksaan penunjang ini disebut sebagai gangguan jiwa
organik. Biasanya gangguan jiwa organik akan membaik atau sembuh jika kondisi
medis umumnya telah tertangani.
Jauh lebih
sering justru seseorang mengeluhkan atau mengalami berbagai penyakit dan
gangguan fisik, namun melalui pemeriksaan medis umum maupun penunjang tidak
terbukti ada suatu penyakit fisik yang mendasarinya. Ini yang kita sebut
sebagai gangguan somatoform ataupun gangguan konversi.
Di lain
pihak seseorang dengan tanda-tanda gangguan jiwa berat dan tidak terbukti
memiliki potensi organik yang mendasarinya, kita sebut sebagai gangguan jiwa
fungsional atau non organik. Kasus-kasus seperti ini yang mayoritas ditangani
langsung oleh psikiater, dan membutuhkan selain pengobatan psikofarmaka namun
juga sesi psikoterapi. Namun tidak jarang pasien atau keluarganya meminta suatu
pemeriksaan definitif pada otak yang akan membuktikan diagnosis gangguan jiwa
pada pasien. Hal ini sayangnya... meski dunia kedokteran telah sedemikian maju
dan modern, tidak mungkin dilakukan.
Pemeriksaan
penunjang pada pasien dengan gangguan psikiatrik hanya akan memastikan atau
menyingkirkan diagnosis penyakit medis umum yang memicu atau mendasari atau
co-exist dengan gangguan jiwa, namun tidak secara definitif menentukan
diagnosis gangguan jiwa. Hal ini antara lain disebabkan oleh proses otak yang
secara unik mengatur ekspresi jiwa seseorang belum dapat diuraikan seutuhnya.
Artinya, meskipun kita mengetahui bahwa fungsi ekspresi jiwa yang
dikoordinasikan otak terjadi melalui gen, neurotransmiter, hormon, dan berbagai
unsur kimia dalam tubuh kita, namun mengetahui kadar, jaras, anatomi, dan
properti biokimiawinya saja tidak cukup untuk menjelaskan bagaimana dan pada
tingkat mana semua komponen ini berinteraksi dan mengespresikan diri. Secara
lebih eksplisit, seandainya pun kita bisa mengambil jaringan otak seorang
penderita skizofrenia dalam keadaan hidup dan melakukan pemeriksaan
laboratorik, kita tidak bisa tahu bagaimana sampel jaringan tersebut
berinteraksi dengan bagian lainnya. Atau jika kita melakukan pencitraan
radiologis pada penderita episode depresi, kita tidak bisa pada saat yang sama
mengetahui tingkat pemancaran neurotransmiter yang terjadi pada jaringan saraf.
Ribet, kan?
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk gangguan jiwa adalah berupa tes-tes diagnostik berbasis statistik dan matriks yang berisi serangkaian tugas maupun pertanyaan, atapun berupa uji kognitif dari berbagai aspek. Pasien diminta untuk menyelesaikan atau berpartisipasi dalam berbagai tugas atau pertanyaan yang akan diinterpretasikan menurut tujuan diagnostik tes tersebut. Meskipun demikian pemeriksaan psikologis ini hanya merupakan alat bantu diagnostik yang tidak digunakan sebagai dasar dalam menentukan diagnosis.
Penelitian
selama ratusan tahun hingga kini, tetap membuktikan bahwa meski kita dalam
taraf tertentu mulai memahami proses biologis gangguan jiwa, namun alat ukur
terbaik pada gangguan jiwa hanyalah analisis oleh jiwa lainnya, yaitu dokter
itu sendiri. Melalui genetic engineering manusia kini bisa mereproduksi makhluk
hidup lainnya ataupun organ artifisial. Manusia bisa membuat robot dan komputer
yang bisa melampaui kemampuan normal manusia itu sendiri. Namun manusia belum
bisa mereproduksi jiwa. Jiwa adalah sesuatu yang misterius, namun bukan berarti
tak terjamah. Gangguan jiwa memang membuktikan bahwa ada sesuatu yang lebih
agung dari kita yang bekerja melalui keberadaan kita. Dan peran dokter
(psikiater) bukan untuk playing God
dan sok mampu menyembuhkan gangguan jiwa, tapi untuk merefleksikan jiwa pasien,
dan membantunya keluar dari labirinnya dengan upayanya sendiri.
Ready for
the journey? We’re to enlighten and encourage, but the journey is yours to
make.
No comments:
Post a Comment