All human actions have one or more of these seven causes: chance, nature, compulsion, habit, reason, passion, and desire.
Aristotle

Wednesday, June 4, 2014

Between Curhat dan Interogasi

“Ihh... Psikiater tuh iseng banget ya? Masa nyusu pake ASI sampe umur berapa aja ditanyain?”

“Katanya periksa, kok ditanyain melulu. Mana alat canggihnya.. manaa??”

“Orang berobat karena keluhan sakit kepala dan susah tidur kok malah diinterogasi bagaimana hubungan dengan suami??!!”

“Pliss dehh... masak curhat aja bayarrr???”

Ilmu kedokteran zaman Hippocrates dan era Watson & Crick sangat jauh berbeda. Setiap detik di seluruh dunia kini menggunakan genetic engineering dalam berbagai ranah kehidupan, termasuk dalam bidang kedokteran. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sangat pesat, sampai-sampai sekarang kita bisa mendeteksi kemungkinan menderita penyakit tertentu bahkan pada janin yang belum dikonsepsi. Pencitraan otak atau brain imaging juga berevolusi dengan cepat. Penelitian-penelitian berskala besar dilakukan untuk memahami misteri otak manusia. Namun.... sayangnya semakin banyak yang kita ketahui, semakin banyak pula yang kita sadari belum dapat kita pahami.

That’s the brain function of human behaviour.

FAQ : Bagaimana sesungguhnya prosedur pemeriksaan gangguan jiwa ?


Untuk menuju kepada terapi, perlu dilalui tahapan-tahapan yang berlaku secara umum dalam ilmu kedokteran. Sangat sering kita datang ke dokter dengan tujuan untuk mendapat pengobatan atau terapi namun tidak ingin direpotkan oleh berbagai tetek bengek prosedural. Hal ini yang membuat booming Google-diagnosis dan self treatment. Didukung oleh kurangnya regulasi dan lemahnya pengawasan obat, maka banyak pasien yang tersesat dalam diagnosis dan salah menggunakan obat.

Seseorang yang datang mencari pertolongan medis akan disebut sebagai pasien. Saat seorang pasien berinteraksi dengan dokter, secara otomatis berlaku prinsip-prinsip etik dokter-pasien yang mengikat kedua belah pihak dalam hubungan transaksional untuk mencapai tujuan bersama. Seorang pasien akan datang mencari bantuan medis dengan membawa keluhan. Ini disebut sebagai keluhan utama. Inilah dasar transaksional dokter-pasien, untuk mencapai tujuan terapeutik yang diharapkan bersama. Tanpa keluhan pasien yang menandai kebutuhannya atas bantuan profesional dokter, seorang dokter tidak boleh melanjutkan ke langkah-langkah pemeriksaan selanjutnya, karena akan melanggar hak azasi seseorang akan perlindungan terhadap privasi. Hal ini berlaku juga pada bidang ilmu kedokteran jiwa, dengan pengecualian khusus yaitu dalam keadaan pasien tidak mampu memberi keputusan logis akan kondisi medisnya, maka keluarga berhak mewakilinya dalam memulai proses transaksional dokter-pasien tersebut.

Dari keluhan utama pasien, dokter akan melakukan wawancara terstruktur yang disebut anamnesis terpimpin yang akan menguraikan sifat dan ciri keluhan utama tersebut. Sebagai contoh, pasien datang dengan keluhan sakit kepala, dokter akan menanyakan bagaimana tepatnya rasa sakit tersebut, apakah seperti ditusuk-tusuk, nyut-nyutan, seperti ditekan, seperti penuh, atau berbaur dengan pusing. Dokter akan menanyakan dimana tepatnya rasa sakit itu dirasakan, bahkan jika bisa menunjuk lokasi nyeri dengan satu jari. Dokter akan menanyakan kemudian gejala yang menyertainya, apakah disertai demam, atau rasa tegang pada leher, atau mual, atau pandangan kabur. Kemudian ditanyakan pula frekuensi dan durasi terjadinya, terus menerus atau periodik, dan jika periodik kapan tepatnya sakit kepala itu muncul dan kapan berhenti atau berkurangnya gejala tersebut, dan lain sebagainya.

Setelah mengupas tuntas keluhan utama, dokter akan menanyakan gejala-gejala penyerta lainnya yang kemungkinan relevan dengan dugaan awal yang telah dimiliki dokter berdasar keterangan mengenai keluhan utama tersebut.

Informasi yang didapatkan melalui anamnesis ini kemudian akan membentuk gambaran beberapa kemungkinan diagnosis yang kemudian akan dipastikan dokter melalui pemeriksaan fisik. Tanda-tanda yang didapatkan melalui pemeriksaan fisik akan menjadi bukti yang mendukung satu diagnosis yang paling mungkin dan beberapa diagnosis banding. Jika bukti-bukti yang mendasari diagnosis sudah cukup kuat, dokter akan memberikan terapi berdasarkan diagnosis. Namun pada beberapa kasus dibutuhkan konfirmasi laboratorik atau radiologis untuk memastikan diagnosis, maka dokter akan menganjurkan untuk melakukan pemeriksaan penunjang baru kemudian memberikan terapi. Langkah-langkah ini harus dilakukan untuk proses penatalaksanaan yang lege artis.

Proses ini dilakukan pula dalam penatalaksanaan gangguan jiwa. Bedanya, dalam ilmu kedokteran jiwa, selain pemeriksaan fisik umum, ujung tombak pemeriksaan berada pada wawancara.


Wawancara atau anamnesis pada pemeriksaan status mental mencakup dua jenis, yaitu alloanamnesis yang berisi keterangan dari keluarga terdekat, bahkan tetangga, teman, dan rekan kerja/sekolah, dan autoanamnesis yang memuat percakapan langsung dengan pasien. Informasi yang didapatkan dari orang lain akan mendukung diagnosis ketika dibandingkan dengan psikopatologi yang didapatkan melalui percakapan dengan pasien.

Pada pasien yang mengalami gangguan jiwa non psikotik seperti episode depresi atau gangguan cemas menyeluruh, informasi dalam pemeriksaan status mental biasanya didapatkan langsung secara sukarela. Jika pasien memilih untuk membatasi informasi, diagnosis kemungkinan akan bias, karena sangat dibutuhkan kerjasama pasien untuk berespon dengan metode wawancara yang dilakukan oleh psikiater. Dan lebih jauh dari itu, jika diagnosis gagal ditegakkan dengan benar, farmakoterapi yang diberikan dapat meleset dan psikoterapi juga tidak akan efektif. Dibutuhkan keterbukaan, kesabaran, dan pemahaman penuh akan hubungan transaksional dokter-pasien yang sedang berlangsung agar tujuan terapetik bisa tercapai.

Sebaliknya informasi yang dibutuhkan untuk penentuan status mental pasien psikotik justru tanpa disadarinya sebagian besar secara sukarela memancar keluar dari setiap pembicaraan, ekspresi emosi, dan perilakunya. Biasanya dokter hanya perlu memberi sedikit rangsangan kepada pasien psikotik untuk menemukan psikopatologi yang ada. Namun hendaya berat pada fungsi mental pasien psikotik membuat peran keluarga sama pentingnya dalam menegakkan diagnosis, informasi melalui alloanamnesis dibutuhkan untuk memastikan onset, perlangsungan gangguan, riwayat pengobatan, dan lain sebagainya yang tidak mampu diberikan pasien sendiri.

Jadi... proses pemeriksaan mental yang dilakukan oleh dokter bukanlah sekedar mendengarkan curhat apalagi interogasi untuk mengorek-ngorek luka atau dosa-dosa di masa lampau. Semua peristiwa yang berlangsung dalam proses transaksional dokter-pasien adalah demi penegakan diagnosis dan penatalaksanaan yang terbaik.

FAQ : Apakah tidak ada pemeriksaan penunjang untuk memastikan gangguan psikiatrik ? 

Beberapa penyakit medis umum dan cidera langsung pada otak dapat menyebabkan gejala-gejala gangguan jiwa. Demam yang sangat tinggi pada infeksi malaria atau tifus misalnya, keracunan otak akibat kegagalan fungsi hati atau zat-zat kimia tertentu, kejang, atau berbagai penyakit lainnya, sering disertai dengan gejala-gejala gangguan jiwa. Gangguan jiwa yang diakibatkan langsung oleh adanya penyakit fisik atau abnormalitas struktur otak yang terbukti melalui pemeriksaan medis dan pemeriksaan penunjang ini disebut sebagai gangguan jiwa organik. Biasanya gangguan jiwa organik akan membaik atau sembuh jika kondisi medis umumnya telah tertangani.

Jauh lebih sering justru seseorang mengeluhkan atau mengalami berbagai penyakit dan gangguan fisik, namun melalui pemeriksaan medis umum maupun penunjang tidak terbukti ada suatu penyakit fisik yang mendasarinya. Ini yang kita sebut sebagai gangguan somatoform ataupun gangguan konversi.

Di lain pihak seseorang dengan tanda-tanda gangguan jiwa berat dan tidak terbukti memiliki potensi organik yang mendasarinya, kita sebut sebagai gangguan jiwa fungsional atau non organik. Kasus-kasus seperti ini yang mayoritas ditangani langsung oleh psikiater, dan membutuhkan selain pengobatan psikofarmaka namun juga sesi psikoterapi. Namun tidak jarang pasien atau keluarganya meminta suatu pemeriksaan definitif pada otak yang akan membuktikan diagnosis gangguan jiwa pada pasien. Hal ini sayangnya... meski dunia kedokteran telah sedemikian maju dan modern, tidak mungkin dilakukan.

Pemeriksaan penunjang pada pasien dengan gangguan psikiatrik hanya akan memastikan atau menyingkirkan diagnosis penyakit medis umum yang memicu atau mendasari atau co-exist dengan gangguan jiwa, namun tidak secara definitif menentukan diagnosis gangguan jiwa. Hal ini antara lain disebabkan oleh proses otak yang secara unik mengatur ekspresi jiwa seseorang belum dapat diuraikan seutuhnya. Artinya, meskipun kita mengetahui bahwa fungsi ekspresi jiwa yang dikoordinasikan otak terjadi melalui gen, neurotransmiter, hormon, dan berbagai unsur kimia dalam tubuh kita, namun mengetahui kadar, jaras, anatomi, dan properti biokimiawinya saja tidak cukup untuk menjelaskan bagaimana dan pada tingkat mana semua komponen ini berinteraksi dan mengespresikan diri. Secara lebih eksplisit, seandainya pun kita bisa mengambil jaringan otak seorang penderita skizofrenia dalam keadaan hidup dan melakukan pemeriksaan laboratorik, kita tidak bisa tahu bagaimana sampel jaringan tersebut berinteraksi dengan bagian lainnya. Atau jika kita melakukan pencitraan radiologis pada penderita episode depresi, kita tidak bisa pada saat yang sama mengetahui tingkat pemancaran neurotransmiter yang terjadi pada jaringan saraf.

Ribet, kan?

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk gangguan jiwa adalah berupa tes-tes diagnostik berbasis statistik dan matriks yang berisi serangkaian tugas maupun pertanyaan, atapun berupa uji kognitif dari berbagai aspek. Pasien diminta untuk menyelesaikan atau berpartisipasi dalam berbagai tugas atau pertanyaan yang akan diinterpretasikan menurut tujuan diagnostik tes tersebut. Meskipun demikian pemeriksaan psikologis ini hanya merupakan alat bantu diagnostik yang tidak digunakan sebagai dasar dalam menentukan diagnosis.

Penelitian selama ratusan tahun hingga kini, tetap membuktikan bahwa meski kita dalam taraf tertentu mulai memahami proses biologis gangguan jiwa, namun alat ukur terbaik pada gangguan jiwa hanyalah analisis oleh jiwa lainnya, yaitu dokter itu sendiri. Melalui genetic engineering manusia kini bisa mereproduksi makhluk hidup lainnya ataupun organ artifisial. Manusia bisa membuat robot dan komputer yang bisa melampaui kemampuan normal manusia itu sendiri. Namun manusia belum bisa mereproduksi jiwa. Jiwa adalah sesuatu yang misterius, namun bukan berarti tak terjamah. Gangguan jiwa memang membuktikan bahwa ada sesuatu yang lebih agung dari kita yang bekerja melalui keberadaan kita. Dan peran dokter (psikiater) bukan untuk playing God dan sok mampu menyembuhkan gangguan jiwa, tapi untuk merefleksikan jiwa pasien, dan membantunya keluar dari labirinnya dengan upayanya sendiri.


Ready for the journey? We’re to enlighten and encourage, but the journey is yours to make.

No comments:

Post a Comment