“Kamu ngapain ke psikiater? Sakit jiwa ya? Hahaha....”
“Waduh.... Setresss.... Apa saya sudah gila yaa??!!!”
“Idihh.... Masak ditanya lain jawabnya lain... Sarap tuh...”
“Saya cuma fobia kalo naik pesawat, gak perlu ke ahli jiwa.”
Sejak masih
SD bahkan TK kita diperkenalkan dengan yang namanya “lawan kata”. Atas lawan
katanya bawah, gelap lawan katanya terang, miskin lawan katanya kaya, sehat....
pasti lawan katanya sakit dong.... Nah, seiring dengan pertambahan usia yang menyertai
proses tumbuh kembang mental kita, kita menjadi tahu bahwa di dunia ini tidak
semuanya dapat dikelompokkan ke dalam positif dan negatif, ya dan tidak, benar
dan salah.
FAQ : Apa itu “JIWA” ?
Sebelum kita
membahas sehat jiwa vs sakit jiwa, ada baiknya kita punya perspektif yang sama
dulu mengenai definisi “jiwa”. Banyak istilah yang secara bergantian digunakan
dalam bahasa Indonesia (Sumber: Wikipedia) :
- Jiwa atau Jiva berasal dari bahasa sanskerta yang artinya benih kehidupan.
- Dalam berbagai agama dan filsafat, jiwa adalah bagian yang bukan jasmaniah (immaterial) dari seseorang. Biasanya jiwa dipercaya mencakup pikiran dan kepribadian dan sinonim dengan roh, akal, atau awak diri.
- Di dalam teologi, jiwa dipercaya hidup terus setelah seseorang meninggal, dan sebagian agama mengajarkan bahwa Tuhan adalah pencipta jiwa. Di beberapa budaya, benda-benda mati dikatakan memiliki jiwa, kepercayaan ini disebut animisme.
- Penggunaan istilah jiwa dan roh seringkali sama, meskipun kata yang pertama lebih sering berhubungan dengan keduniaan dibandingkan kata yang kedua. Jiwa dan psyche bisa juga digunakan secara sinonimous, meskipun psyche lebih berkonotasi fisik, sedangkan jiwa berhubungan dekat dengan metafisik dan agama.
Dalam perspektif psikiatri, jiwa ditelaah dalam perspektif kedokteran atau ilmu kesehatan. Sebagian
besar cabang ilmu kedokteran diagnostik-terapetik dibagi menurut organ, sistem
organ, atau struktur anatomi tertentu yang dapat diamati atau dilokalisir. Obstetri-ginekologi
berfokus pada fungsi reproduksi, oftalmologi berfokus pada mata, internis
menangani penyakit dan gangguan pada organ dalam, ahli THT menangani gangguan
pada organ telinga, hidung, tenggorok.
Perlu kita
ingat, "psikiatri" adalah “ilmu kedokteran jiwa”, maka psikiater bukanlah ahli
jiwa, tapi ahli kedokteran jiwa, alias dokter ahli yang menangani seputar
gangguan jiwa. Karena ilmu kedokteran merupakan cabang sains yang menggunakan
prinsip empiris-logis, maka “jiwa” dalam perspektif kedokteran harus menjadi
sesuatu yang terukur dan dapat diamati. Sehingga jiwa yang dibahas dalam
psikiatri adalah segala aktivitas seseorang yang dapat diukur dan diamati yang
merupakan representasi fungsi kognitif dan emosionalnya. Kedokteran jiwa bukan perdukunan, psikiatri adalah ilmu klinik, bukan klenik.
Nah, kalau
begitu dimana letak jiwa?
Di seluruh
tubuh tentunya! Dengan apa lagi kita merefleksikan apa yang kita pikirkan dan
rasakan? Tentu dengan keseluruhan fungsi tubuh kita.
Representasi
jiwa yang dimaksudkan disini agar seragam penggunaan dan pemahamannya di
seluruh dunia dituangkan dalam catatan medis kedokteran jiwa yang memuat pada
dasarnya 3 aspek utama dari jiwa : pikiran, perasaan, perilaku. Catatan medis
psikiatrik yang lengkap akan memuat seluruh aspek kehidupan seseorang baik
secara cross-sectional maupun longitudinal. Artinya evaluasi psikiatrik lengkap
terhadap seseorang akan berisi riwayat kehidupan seseorang secara menyeluruh
sejak lahir hingga saat pemeriksaan, riwayat gangguan medis maupun psikiatrik
pada anggota keluarga, hasil observasi dan pemeriksaan fisik lengkap pada saat
pemeriksaan, fungsi kognitif dan emosi yang teramati melalui wawancara psikiatrik,
riwayat dan rencana pengobatan (farmakologis dan/atau psikologis), follow up,
dan kerjasama antar spesialisasi jika dibutuhkan.
FAQ : Apakah jika seseorang tidak sehat jiwa maka dia sakit jiwa?
Definisi
sehat dan sakit banyak dikemukakan oleh para ahli. Tapi untuk lebih mudahnya, berdasarkan
pengalaman kita sehari-hari, apakah benar jika kita tidak merasa sehat maka
kita sedang sakit? Seringkali muncul istilah “kurang sehat”. Hal ini menggambarkan
suatu situasi dimana kita merasa tidak dapat berfungsi secara penuh namun tidak
pula dalam keadaan mengalami hambatan berarti dalam beraktivitas. Bagaimana
dengan kesehatan jiwa?
Kesehatan
sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1 ayat 1 Undang Undang No 36 Tahun 2009
tentang kesehatan adalah merupakan “Keadaan sehat, baik secara fisik, mental,
spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif
secara sosial dan ekonomis”.
Kesehatan
jiwa itu sendiri digambarkan sebagai “suatu kondisi mental sejahtera yang
memungkinkan hidup harmonis dan produktif sebagai bagian yang utuh dari
kualitas hidup seseorang, dengan memperhatikan semua segi kehidupan manusia
dengan ciri menyadari sepenuhnya kemampuan dirinya, mampu menghadapi tekanan
hidup yang wajar, mampu bekerja produktif dan memenuhi kebutuhan hidupnya,
dapat berperan serta dalam lingkungan hidup, menerima dengan baik apa yang ada
pada dirinya, merasa nyaman bersama dengan orang lain”. (UU No.36 Tentang
Kesehatan 2009)
Berhubung UU
tentang Kesehatan Jiwa sudah sangat djadoel, ditetapkan tahun 1966, maka
digodoklah draf RUU KESWA tg 15 Oktober 2012/PUU KESRA, dengan rumusan
kesehatan jiwa dalam pasal 1 : “Kesehatan Jiwa adalah kondisi yang memungkinkan
perkembangan fisik, mental, dan spiritual seseorang secara optimal serta selaras
dengan perkembangan orang lain, yang memungkinkan orang tersebut hidup
produktif secara sosial dan ekonomis.”
Wow... Rumit
ya?? Namun sebenarnya disini dijelaskan bahwa suatu keadaan “sehat jiwa”
intinya mencakup hal-hal :
Dimana hal
tersebut akan tampak dari ciri-ciri :
- Menyadari sepenuhnya kemampuan dirinya
- Mampu menghadapi tekanan hidup yang wajar
- Mampu bekerja produktif dan memenuhi kebutuhan hidupnya
- Dapat berperan serta dalam lingkungan hidup
- Menerima dengan baik apa yang ada pada dirinya
- Merasa nyaman bersama dengan orang lain
Cukup
lengkap bukan? That’s one checklist for you! Apakah semua ciri-ciri sehat jiwa tersebut
ada pada Anda?
Jika tidak,
maka Anda sakit jiwa dan butuh psikiater!
Haha... just
kidding....
Kondisi
abu-abu dimana kita dalam suatu waktu merasa kurang optimal secara mental dapat kita
gambarkan sebagai masalah kejiwaan. Masalah kejiwaan tidak selamanya butuh
bantuan medis psikiater. Masalah kejiwaan sebagian besar dapat diselesaikan
sendiri, atau melalui bantuan keluarga, kerabat, sahabat, pemuka adat
atau agama yang dipercaya, dan psikolog yang berkompeten.
FAQ : Kapan seseorang butuh bantuan ahli kedokteran jiwa?
Istilah yang
kita gunakan di Indonesia bukanlah “penyakit jiwa” (mental disease/mental illness,
Ing.), karena istilah penyakit merujuk pada satu organ atau sistem organ
tertentu dengan patofisiologi dan etiologi yang cukup jelas. Kita memakai
istilah gangguan jiwa atau gangguan mental (mental disorder, Ing.) untuk
menggambarkan suatu kondisi penyimpangan dari keadaan sebelumnya atau dari yang
diterima secara umum, sebagai output dari proses dan interaksi multifaktor (bio-psiko-sosial)
Butir-butir
yang tercakup dalam konsep gangguan jiwa menurut PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan
dan Diagnosis Gangguan Jiwa ed. III, yang mengacu pada International
Classification of Disease 10 yang digunakan sebagai acuan diagnosis medis di
seluruh dunia) adalah harus memenuhi
(Maslim.,R, Diagnosis Gangguan Jiwa):
- Adanya gejala klinis yang bermakna.
- Gejala klinis tersebut menimbulkan penderitaan (distress).
- Gejala klinis tersebut menimbulkan hendaya (disability) dalam aktivitas kehidupan sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan kelangsungan hidup.
Semua orang
pasti pernah merasakan cemas. Semua orang pasti pernah sangat sedih, yang kita
dengan mudahnya sebut sebagai stres atau depresi. Tapi apakah semua orang sudah
mengalami gangguan jiwa?? Nggak lahh.....
Tapi jika
cemas Anda sampai membuat Anda sampai pingsan (gejala klinis bermakna),
selalu terjadi sehingga Anda merasa ketakutan keluar rumah (distress),
sampai-sampai Anda tidak bisa ngantor atau sekolah (disability), jangan malu,
ragu, atau takut untuk mencari pertolongan medis. Gangguan jiwa bukan terjadi semata-mata
karena Anda lemah atau tidak kuat mental. Peran dokter adalah untuk membantu
anda mengintegrasikan masalah kejiwaan Anda secara biopsikososial, dan membantu
fungsi mental Anda kembali optimal.
Masih bingung? Silakan tanya... Salam sehat jiwa :)
No comments:
Post a Comment