All human actions have one or more of these seven causes: chance, nature, compulsion, habit, reason, passion, and desire.
Aristotle

Wednesday, May 7, 2014

Sehat Jiwa vs Sakit Jiwa ?

“Kamu ngapain ke psikiater? Sakit jiwa ya? Hahaha....”
“Waduh.... Setresss.... Apa saya sudah gila yaa??!!!”
“Idihh.... Masak ditanya lain jawabnya lain... Sarap tuh...”
“Saya cuma fobia kalo naik pesawat, gak perlu ke ahli jiwa.”

Sejak masih SD bahkan TK kita diperkenalkan dengan yang namanya “lawan kata”. Atas lawan katanya bawah, gelap lawan katanya terang, miskin lawan katanya kaya, sehat.... pasti lawan katanya sakit dong.... Nah, seiring dengan pertambahan usia yang menyertai proses tumbuh kembang mental kita, kita menjadi tahu bahwa di dunia ini tidak semuanya dapat dikelompokkan ke dalam positif dan negatif, ya dan tidak, benar dan salah.

FAQ : Apa itu “JIWA” ?


Sebelum kita membahas sehat jiwa vs sakit jiwa, ada baiknya kita punya perspektif yang sama dulu mengenai definisi “jiwa”. Banyak istilah yang secara bergantian digunakan dalam bahasa Indonesia (Sumber: Wikipedia) :
  • Jiwa atau Jiva berasal dari bahasa sanskerta yang artinya benih kehidupan.
  • Dalam berbagai agama dan filsafat, jiwa adalah bagian yang bukan jasmaniah (immaterial) dari seseorang. Biasanya jiwa dipercaya mencakup pikiran dan kepribadian dan sinonim dengan roh, akal, atau awak diri.
  • Di dalam teologi, jiwa dipercaya hidup terus setelah seseorang meninggal, dan sebagian agama mengajarkan bahwa Tuhan adalah pencipta jiwa. Di beberapa budaya, benda-benda mati dikatakan memiliki jiwa, kepercayaan ini disebut animisme.
  • Penggunaan istilah jiwa dan roh seringkali sama, meskipun kata yang pertama lebih sering berhubungan dengan keduniaan dibandingkan kata yang kedua. Jiwa dan psyche bisa juga digunakan secara sinonimous, meskipun psyche lebih berkonotasi fisik, sedangkan jiwa berhubungan dekat dengan metafisik dan agama.

Dalam perspektif psikiatri, jiwa ditelaah dalam perspektif kedokteran atau ilmu kesehatan. Sebagian besar cabang ilmu kedokteran diagnostik-terapetik dibagi menurut organ, sistem organ, atau struktur anatomi tertentu yang dapat diamati atau dilokalisir. Obstetri-ginekologi berfokus pada fungsi reproduksi, oftalmologi berfokus pada mata, internis menangani penyakit dan gangguan pada organ dalam, ahli THT menangani gangguan pada organ telinga, hidung, tenggorok.

Perlu kita ingat, "psikiatri" adalah “ilmu kedokteran jiwa”, maka psikiater bukanlah ahli jiwa, tapi ahli kedokteran jiwa, alias dokter ahli yang menangani seputar gangguan jiwa. Karena ilmu kedokteran merupakan cabang sains yang menggunakan prinsip empiris-logis, maka “jiwa” dalam perspektif kedokteran harus menjadi sesuatu yang terukur dan dapat diamati. Sehingga jiwa yang dibahas dalam psikiatri adalah segala aktivitas seseorang yang dapat diukur dan diamati yang merupakan representasi fungsi kognitif dan emosionalnya. Kedokteran jiwa bukan perdukunan, psikiatri adalah ilmu klinik, bukan klenik.

Nah, kalau begitu dimana letak jiwa?
Di seluruh tubuh tentunya! Dengan apa lagi kita merefleksikan apa yang kita pikirkan dan rasakan? Tentu dengan keseluruhan fungsi tubuh kita.

Representasi jiwa yang dimaksudkan disini agar seragam penggunaan dan pemahamannya di seluruh dunia dituangkan dalam catatan medis kedokteran jiwa yang memuat pada dasarnya 3 aspek utama dari jiwa : pikiran, perasaan, perilaku. Catatan medis psikiatrik yang lengkap akan memuat seluruh aspek kehidupan seseorang baik secara cross-sectional maupun longitudinal. Artinya evaluasi psikiatrik lengkap terhadap seseorang akan berisi riwayat kehidupan seseorang secara menyeluruh sejak lahir hingga saat pemeriksaan, riwayat gangguan medis maupun psikiatrik pada anggota keluarga, hasil observasi dan pemeriksaan fisik lengkap pada saat pemeriksaan, fungsi kognitif dan emosi yang teramati melalui wawancara psikiatrik, riwayat dan rencana pengobatan (farmakologis dan/atau psikologis), follow up, dan kerjasama antar spesialisasi jika dibutuhkan.

FAQ : Apakah jika seseorang tidak sehat jiwa maka dia sakit jiwa?


Definisi sehat dan sakit banyak dikemukakan oleh para ahli. Tapi untuk lebih mudahnya, berdasarkan pengalaman kita sehari-hari, apakah benar jika kita tidak merasa sehat maka kita sedang sakit? Seringkali muncul istilah “kurang sehat”. Hal ini menggambarkan suatu situasi dimana kita merasa tidak dapat berfungsi secara penuh namun tidak pula dalam keadaan mengalami hambatan berarti dalam beraktivitas. Bagaimana dengan kesehatan jiwa?

Kesehatan sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1 ayat 1 Undang Undang No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan adalah merupakan “Keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis”.

Kesehatan jiwa itu sendiri digambarkan sebagai “suatu kondisi mental sejahtera yang memungkinkan hidup harmonis dan produktif sebagai bagian yang utuh dari kualitas hidup seseorang, dengan memperhatikan semua segi kehidupan manusia dengan ciri menyadari sepenuhnya kemampuan dirinya, mampu menghadapi tekanan hidup yang wajar, mampu bekerja produktif dan memenuhi kebutuhan hidupnya, dapat berperan serta dalam lingkungan hidup, menerima dengan baik apa yang ada pada dirinya, merasa nyaman bersama dengan orang lain”. (UU No.36 Tentang Kesehatan 2009)

Berhubung UU tentang Kesehatan Jiwa sudah sangat djadoel, ditetapkan tahun 1966, maka digodoklah draf RUU KESWA tg 15 Oktober 2012/PUU KESRA, dengan rumusan kesehatan jiwa dalam pasal 1 : “Kesehatan Jiwa adalah kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, mental, dan spiritual seseorang secara optimal serta selaras dengan perkembangan orang lain, yang memungkinkan orang tersebut hidup produktif secara sosial dan ekonomis.”

Wow... Rumit ya?? Namun sebenarnya disini dijelaskan bahwa suatu keadaan “sehat jiwa” intinya mencakup hal-hal :

Dimana hal tersebut akan tampak dari ciri-ciri :
  • Menyadari sepenuhnya kemampuan dirinya
  • Mampu menghadapi tekanan hidup yang wajar
  • Mampu bekerja produktif dan memenuhi kebutuhan hidupnya
  • Dapat berperan serta dalam lingkungan hidup
  • Menerima dengan baik apa yang ada pada dirinya
  • Merasa nyaman bersama dengan orang lain

Cukup lengkap bukan? That’s one checklist for you! Apakah semua ciri-ciri sehat jiwa tersebut ada pada Anda?
Jika tidak, maka Anda sakit jiwa dan butuh psikiater!
Haha... just kidding....
Kondisi abu-abu dimana kita dalam suatu waktu merasa kurang optimal secara mental dapat kita gambarkan sebagai masalah kejiwaan. Masalah kejiwaan tidak selamanya butuh bantuan medis psikiater. Masalah kejiwaan sebagian besar dapat diselesaikan sendiri, atau melalui bantuan keluarga, kerabat, sahabat, pemuka adat atau agama yang dipercaya, dan psikolog yang berkompeten.

FAQ : Kapan seseorang butuh bantuan ahli kedokteran jiwa?


Istilah yang kita gunakan di Indonesia bukanlah “penyakit jiwa” (mental disease/mental illness, Ing.), karena istilah penyakit merujuk pada satu organ atau sistem organ tertentu dengan patofisiologi dan etiologi yang cukup jelas. Kita memakai istilah gangguan jiwa atau gangguan mental (mental disorder, Ing.) untuk menggambarkan suatu kondisi penyimpangan dari keadaan sebelumnya atau dari yang diterima secara umum, sebagai output dari proses dan interaksi multifaktor (bio-psiko-sosial)


Butir-butir yang tercakup dalam konsep gangguan jiwa menurut PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa ed. III, yang mengacu pada International Classification of Disease 10 yang digunakan sebagai acuan diagnosis medis di seluruh dunia) adalah harus memenuhi  (Maslim.,R, Diagnosis Gangguan Jiwa):
  1. Adanya gejala klinis yang bermakna.
  2. Gejala klinis tersebut menimbulkan penderitaan (distress).
  3. Gejala klinis tersebut menimbulkan hendaya (disability) dalam aktivitas kehidupan sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan kelangsungan hidup.

Semua orang pasti pernah merasakan cemas. Semua orang pasti pernah sangat sedih, yang kita dengan mudahnya sebut sebagai stres atau depresi. Tapi apakah semua orang sudah mengalami gangguan jiwa?? Nggak lahh.....


Tapi jika cemas Anda sampai membuat Anda sampai pingsan (gejala klinis bermakna), selalu terjadi sehingga Anda merasa ketakutan keluar rumah (distress), sampai-sampai Anda tidak bisa ngantor atau sekolah (disability), jangan malu, ragu, atau takut untuk mencari pertolongan medis. Gangguan jiwa bukan terjadi semata-mata karena Anda lemah atau tidak kuat mental. Peran dokter adalah untuk membantu anda mengintegrasikan masalah kejiwaan Anda secara biopsikososial, dan membantu fungsi mental Anda kembali optimal.

Masih bingung? Silakan tanya... Salam sehat jiwa :)

No comments:

Post a Comment