All human actions have one or more of these seven causes: chance, nature, compulsion, habit, reason, passion, and desire.
Aristotle

Wednesday, May 16, 2018

Pengobatan dalam Psikiatri

“Pokoknya saya tidak mau minum obat penenang!!! Saya tidak gila!!!”

“Saya bisa tidur kok dok kalau saya tidak banyak pikiran, cuma memang sih mudah terbangun di malam hari. Saya tidak butuh obat tidur.”

“Dok, saya sudah berhenti minum obatnya dokter, takut ketergantungan.”

“Dok!! Saya protes, apotik bilang ini obat orang gila, saya cuma sakit-sakit perut saja kenapa dikasih obat orang gila!!! Dokter salah kasih obat ya???”

Bukannya kalau pergi ke psikiater tuh pastinya pulang-pulang bawa obat segepok atau kapsul-kapsul ga jelas gitu???

Pasien yang akhirnya entah dengan salah satu cara -- dipaksa atau memberanikan diri -- akhirnya berobat juga ke psikiater, akan mengalami kebingungan atau konflik batin terkait dengan terapinya jika pasien tersebut masih memiliki RTA yang cukup baik. Atau kalau tidak, keluarganya yang akan mengalami hal tersebut.
Bingung... Takut... Skeptis... Bahkan hingga resisten atau menolak pengobatan, meskipun sedikit banyak sudah cukup menerima bahwa ada gangguan medis yang dialami oleh "jiwa" kakak, adik, ayah, ibu, anak, kakek, nenek, oom, atau tantenya, atau terlebih pada dirinya sendiri.

FAQ : Obat jiwa itu kan obat penenang ?


Dalam Ilmu Kedokteran Jiwa (Psikiatri) dikenal penggolongan obat secara tradisional yang membagi obat-obatan menjadi 4 kelompok menurut gejala utama yang ditemukan:

  1. Antipsikotik: Berfungsi mengatasi gejala psikosis, berupa waham, halusinasi, kekacauan proses pikir, kegelisahan motorik, dan sebagainya.
  2. Antidepresan: Berfungsi mengatasi gejala depresi, seperti kehilangan minat dan kegembiraan, mudah lelah, sering menangis yang berlebihan, dan sebagainya
  3. Antiansietas: Berfungsi mengatasi gejala cemas, seperti pikiran yang penuh dengan kekuatiran tanpa alasan, ketegangan otot, keringat dingin, jantung berdebar, dan sebagainya.
  4. Mood stabilizer: Berfungsi menstabilkan perubahan suasana perasaan yang tidak wajar, mengatasi emosi yang meluap-luap, dan lain sebagainya.
Meskipun demikian ilmu kedokteran moderen telah mengupayakan berbagai penelitian di bidang neurosains dan menemukan bahwa mekanisme kerja obat-obat yang digunakan dalam Psikiatri terlalu sempit apabila dikelompokkan hanya berdasarkan modalitas utama obat, karena ternyata mekanisme kerja psikofarmaka (obat-obatan yang bekerja pada "jiwa" atau psyche) lebih jauh bekerja di tingkat molekuler. Perkembangan di bidang neuropsychopharmacology memberi argumen terbaru bahwa:

  1. Obat-obatan yang tergolong antipsikotik dapat juga memiliki efek antidepresan dan efek antiansietas, bahkan dapat sebagai mood stabilizer. Beberapa obat memiliki efek yang benar-benar berbeda, hanya dengan perbedaan dosis saja. Contohnya Chlorpromazin yang dengan dosis 25mg berfungsi sebagai antiemetik/anti muntah, dosis 100mg sebagai obat penenang/tidur, dan pada dosis full 300-600mg per hari berfungsi sebagai antipsikotik. 
  2. Antidepresan khususnya golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) ditemukan memiliki efek antiansietas dengan mekanisme kerja yang berbeda dengan antiansietas murni golongan benzodiazepin.
  3. Beberapa obat antiansietas golongan benzodiazepin diketahui memiliki efek mood stabilizer dan dianggap lebih ampuh digunakan pada pasien gangguan bipolar secara periodik ketimbang penggunaan mood stabilizer jangka panjang.
  4. Sebelum beberapa obat digolongkan juga sebagai mood stabilizer, obat-obat tersebut sebenarnya telah lebih dulu dikenal sebagai antiepilepsi/anti kejang. Penelitian kemudian membuktikan bahwa obat-obat yang dulunya dikenal sebagai obat epilepsi ternyata memiliki efek menstabilkan suasana perasaan.

Istilah "Obat Penenang" sangat melekat pada obat-obat psikiatri karena efek terapetik pertama yang dirasakan pada saat pasien mengkonsumsinya adalah menjadi lebih tenang. Pasien psikotik berkurang kegelisahannya, pasien ansietas berkurang kecemasannya, pasien galau bisa lebih ikhlas... hehehe...

Tapi sebenarnya batasan ini terlalu menganggap remeh kerja obat psikofarmaka, bahkan menjadi bumerang ketika pasien menganggap bahwa dirinya tidak butuh ditenangkan, pasien akan menolak pengobatan. Banyak pasien yang secara nirsadar menganggap bahwa apabila mengkonsumsi obat penenang, obat itu akan menguasai dirinya dan "menenangkannya" di luar kendali pasien. Sementara keluarga pasien menganggap jika seseorang telah diberi obat penenang maka keluarganya telah menerima vonis sebagai "orang gila".

Istilah "obat penenang" untuk obat jiwa juga tidak salah. Karena istilah tersebut diterjemahkan dari bahasa inggris "tranquilizer" yang kata dasarnya adalah "tranquil" artinya tenang. Dikenal 2 macam tranquilizer, yaitu "major tranquilizer" yang sejatinya adalah obat-obat antipsikotik, dan "minor tranquilizer" yang adalah golongan obat-obat benzodiazepin. Kedua jenis obat ini memang yang berefek langsung menenangkan kegelisahan dan memiliki efek samping kantuk.

Meluruskan mitos "Obat Penenang" memang tidak mudah, karena memang efek "tenang" akan didapatkan dengan psikofarmaka, namun bukan itu satu-satunya tujuan terapi. Kadang-kadang menenangkan pasien dengan psikofarmaka hanya menjadi salah satu jalan untuk membuat pasien lebih mudah menerima psikoterapi. Intinya tujuan akhir terapi pada psikiatri adalah kualitas hidup yang lebih baik.


FAQ : Boleh kan minum obat dari psikiater saat susah tidur saja, atau saat lagi galau ?

Seiring dengan perkembangan neurosains, Ilmu Kedokteran Jiwa dalam hal Psikiatri Biologi dan Psikofarmaka turut berkembang menguraikan patofisiologi gangguan jiwa dan metode intervensi yang paling tepat. Mengacu pada diagnosis yang telah ditegakkan, maka oleh dokter disusunlah rencana terapi. Terapi dalam Psikiatri mengenal tiga modalitas utama: Psikofarmaka, Psikoterapi, dan Brain Stimulation.
Lhoooo.... apa lagi iniii...???
Tenaaangg... ini penjelasannya...

  1. Psikofarmaka: Diserap dan diturunkan dari bahasa asing, psychopharmacy dari kata psychopharmacology yang pengertiannya jika di-copas dari tante Wiki: (from Greek ψῡχήpsȳkhē, "breath, life, soul"; φάρμακονpharmakon, "drug"; and -λογία-logia) is the scientific study of the effects drugs have on moodsensation, thinking, and behavior. It is distinguished from neuropsychopharmacology, which emphasizes the correlation between drug-induced changes in the functioning of cells in the nervous system and changes in consciousness and behavior.  Jadi.... intinya psikofarmaka adalah obat-obatan yang memiliki efek terhadap suasana perasaan, persepsi inderawi, arus dan isi pikir, serta perilaku.
  2. Psikoterapi: Masih menurut definisi tante Wikipedia, Psychotherapy is the use of psychological methods, particularly when based on regular personal interaction, to help a person change and overcome problems in desired ways. Psychotherapy aims to improve an individual's well-being and mental health, to resolve or mitigate troublesome behaviors, beliefs, compulsions, thoughts, or emotions, and to improve relationships and social skillsYang secara garis besar intinya adalah bahwa psikoterapi adalah metode terapi yang lebih umum, dengan menggunakan metode psikologis melalui interaksi personal antarmanusia. 
  3. Brain stimulation: Metodi terapi psikiatri secara fisis, dengan target memberi stimulasi langsung pada otak tanpa menggunakan obat-obatan. Yang paling lama dikenal adalah Electroconvulsive Therapy (ECT) yang sederhananya adalah suatu metode membuat bangkitan kejang melalui rangsangan listrik ke otak untuk memperbaiki keseimbangan neurotransmitter dan transmisi listrik otak. Metode terbaru adalah Transcranial Magnetic Stimulation (TMS) yang menggunakan medan magnet untuk stimulasi otak.
Pemilihan modalitas terapi dan obat yang akan digunakan serta psikoterapi apa yang akan diterapkan, semuanya membutuhkan ketepatan diagnosis.

Apabila pasien terdiagnosis dengan gangguan jiwa ringan yang tidak membutuhkan terapi rutin seperti reaksi stress akut, gangguan penyesuaian, gangguan insomnia non organik, dan diagnosis lainnya yang bersifat reaktif dan sementara, maka pemberian obat-obatan atau tatalaksana lainnya hanya akan berlangsung  dalam waktu singkat. Apabila pasien hanya mengalami gangguan tidur karena respon stress sementara karena pekerjaan yang menumpuk, atau jet lag, atau faktor-faktor yang mudah terdeteksi lainnya, maka obat dapat diminum dalam periode singkat, sesuai dengan instruksi dokter mengenai cara mengkonsumsinya. Contohnya, gejala sulit tidur yang banyak ditemukan pada berbagai diagnosis gangguan jiwa, jadi obat harus diminum sesuai anjuran dokter karena telah diresepkan sesuai diagnosis dan bukan semata-mata untuk menghilangkan gejala saja.

Hindari kebiasaan menyisakan obat untuk jaga-jaga di kemudian hari apabila selama masa minum obat perasaan sudah lebih tenang dan baik, karena peresepan obat oleh psikiater telah mempertimbangkan berbagai hal termasuk khasiat obat dan target terapi yang ingin dicapai. Menjadi tenang dan merasa baik belum menjadi tolok ukur kesembuhan dalam bidang Ilmu Kedokteran Jiwa. Beberapa terapi perlu dilanjutkan selama 6 bulan, satu tahun, dua tahun, bahkan diminum seumur hidup, untuk mencapai remisi, mencegah kekambuhan, dan mencapai kualitas hidup yang baik. Sekali lagi..... tergantung diagnosisnya.

FAQ : Obat jiwa bahaya kan... bisa bikin ketergantungan ? 


Mekanisme kerja obat psikofarmaka sangat beragam, namun terutama bekerja pada modifikasi kerja neurotransmiter dan reseptor. Obat tertentu, khususnya golongan benzodiazepin dan stimulan memang apabila disalahgunakan dan dikonsumsi tanpa pengawasan dokter/psikiater dapat berpotensi menyebabkan ketergantungan.
Nah kalau bicara tentang ketergantungan, biasanya orang membayangkan para pengguna narkoba yang memakai obat-obatan yang bikin "fly" dan akhirnya menjadi ketergantungan. Kalau begitu pertama-tama kita luruskan dulu beberapa definisi. Narkoba adalah singkatan dari narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif. Penjelasan mbak dokter cantik di website Klik Dokter di-copas ke sini karena penjelasannya sudah sangat baik:
Berdasarkan Undang-Undang No. 35 tahun 2009, narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Narkotika dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, dan menghilangkan rasa nyeri. Bahkan pengguna narkotika tidak dapat merasakan apa-apa karena narkotika memengaruhi susunan saraf.
Narkotika juga dapat menimbulkan ketergantungan. Jenis-jenis narkotika yaitu tanaman papaver, opium, morfin, kokain, ganja.
Lantas bagaimana dengan psikotropika? Menurut Undang-Undang No. 5 tahun 1997, psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat, yang menyebabkan perubahan pada aktivitas mental dan perilaku.
Cara kerja psikotropika yaitu memengaruhi susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan perubahan pada aktivitas mental serta perilaku disertai halunasi, ilusi, dan gangguan cara berpikir.
Jenis-jenis psikotropika yaitu sedatin, rohypnol, valium, amfetamine, metakualon, feobarbital, shabu-shabu, dan ekstasi.
Beberapa jenis obat yang disebutkan di atas memang digunakan dalam ilmu kedokteran, namun harus dalam batas pengawasan dokter dan tidak boleh digunakan secara sembarangan karena dapat membahayakan organ tubuh bahkan kematian.
Jadi sebenarnya lingkup psikofarmaka dapat mencakup narkotika dan psikotropika, dan tujuan utama obat-obatan ini adalah untuk kepentingan terapi. Meskipun begitu, banyak zat adiktif lainnya yang diproduksi bukan untuk tujuan medis dan murni untuk tujuan mencapai efek psikis tertentu. Penggunaan narkotika dan psikotropika yang berbahaya adalah dengan penggunaan yang salah dan bukan untuk kepentingan terapi. Penggunaan psikofarmaka dengan pengawasan dokter/psikiater tidak menyebabkan ketergantungan.

Namunpun demikian, istilah ketergantungan juga memiliki 3 makna yang perlu kita pahami:

  1. Ketergantungan fisik. Ketergantungan ini jelas terkait dengan efek berbahaya obat-obat yang disalahgunakan. Karena obat bekerja pada reseptor dan neurotransmiter, penyalahgunaan obat akan mengganggu kestabilan neurotansmiter dan respon reseptor. Akibatnya ketika sel tubuh terus menerus mendapat asupan obat tertentu secara salah, tubuh akan merespon secara salah juga. Ada kalanya reseptor menjadi kebal dengan dosis kecil dan menuntut peningkatan dosis, dan apabila obat dihentikan, tubuh akan memberi reaksi buruk sebagai tanda bahwa tubuh menganggap obat tersebut harus berada dalam tubuh barulah bisa bekerja dengan normal. Hal seperti ini terutama terjadi akibat penyalahgunaan obat-obat narkotika.
  2. Ketergantungan psikis. Ketergantungan jenis ini terkait dengan rangsang emosi yang ditimbulkan oleh beberapa obat. Beberapa orang yang telah merasa nyaman dengan obat yang dikonsumsinya akan menganggap ia membutuhkan obat tersebut untuk merasa nyaman, padahal sel tubuh dan reseptornya tidak terpengaruh secara fisik/biologis. Efek menyenangkan yang timbul bisa juga dalam taraf eksitasi atau kegembiraan yang berlebihan, seperti yang dialami oleh penyalahguna zat stimulan (amfetamin, metamfetamin). Dalam hal ini, meskipun awalnya berupa ketergantungan psikis, lama kelamaan akan berubah juga menjadi ketergantungan fisik.
  3. Ketergantungan medis. Ketergantungan tipe ini sebenarnya bukan suatu ketergantungan dalam arti sebenarnya. Namun dalam arti bahwa ada penyakit-penyakit tertentu yang memang bersifat kronis sehingga membutuhkan maintenance dengan obat untuk menjaga kualitas hidupnya. Sebagaimana pasien Diabetes Mellitus "tergantung" dengan obat OHO atau insulinnya, dan penderita hipertensi "tergantung" dengan obat-obat antihipertensinya, demikian juga penderita skizofrenia "tergantung" dengan antipsikotiknya. Dalam perjalanan penyakit, kondisi pasien bisa naik turun, maka dibutuhkan rutinitas kontrol untuk penyesuaian dosis obat.

Pengobatan dalam psikiatri membutuhkan ramuan seni dan logika, karena setiap orang diciptakan Tuhan unik adanya. Satu diagnosis yang sama pada dua orang yang berbeda bisa jadi akan diobati dengan terapi yang berbeda, karena diagnosis psikiatri tidak berdiri sendiri, ada latar belakang psikososial yang juga perlu dipertimbangkan.

Jika anda ragu dengan pengobatan psikiatri, jangan mencari sumber informasi yang kurang dapat dipercaya. Silakan berkonsultasi dengan psikiater untuk mendapat penjelasan dan dalam pemahaman anda bisa membantu diri anda sendiri keluar dari kondisi anda.

Salam sehat jiwa.

[Check out previous posts for more about psychiatry]